Jumat, 14 Oktober 2016

MAKALAH LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas individu dalam
Mata Kuliah Sejarah Pendidikan Islam
Team Teaching
Dr. Supardi, Ph.D
Dr. Muhajir, MA.


   
 








Disusun oleh :
Dede Fatchuroji
NIM: 1640100394


PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI-A) / II
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN

2016

LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH
Dede Fatchuroji

Abstrak
Madrasah berguna sebagai wadah jalannya proses pendidikan Islam pada masa sekarang yang sistematis dan terencana akan tetapi pada masa klasik belum adanya suatu madrasah tapi terdapat proses pendidikan Islam yang terbukti bisa mencetak para candikiawan muslim. Adapun rumusan masalah yang dijelaskan dalam paper ini adalah: bagaimana lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah? Sedangkan tujuan penulisan paper ini adalah: untuk mengetahui bagaimana lembaga pendidikan islam sebelum madrasah. Penulisan paper ini diharapkan bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang haus akan ilmu pengetahuan pada umumnya, pembahasannya adalah: pendidikan era klasik pra madrasah, sebagai berikut: (a) Suffah (b) Kuttub/ Maktab (c) halaqah, (d) majlis, yang ada 7 macam majlis sebagai berikut: Majlis al-Hadits, Majlis At-Tadris, Majlis al-Munazharoh, Majlis al Muzakaroh, Majlis al-Syu’ara, Majlis al-Adab dan Majelis al-Fatwa dan Majlis al-Nazar.(e) Masjid (f) khan (g) Ribath (h) Rumah Ulama (i) toko buku dan perpustakaan (j) Rumah Sakit (k) badiah (padang pasir, Dusun tempat tinggal badwi).

KATA KUNCI: Kejayaan Islam,  Pendidikan Islam
A.    PENDAHULUAN
Agama Islam yang diwahyukan kepada Nabi Muhammad Saw. Mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk menjadi rahmat bagi sekian alam. Dalam agama islam terkandung potensi yang mengacu kepada dua fenomena perkembangan, yaitu: pertama, potensi psikologi dan paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang berkualitas bijak dan menyandang derajat yang muliamelebihi makhluk-makhluk lainnya.  Kedua, potensi pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang dinamis dan kreatif serta responsip terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang alamiah maupun yang ijtima’iyah, di mana Tuhan menjadi potensi sentral perkembangannya. [1]
Sebelum Nabi Muhammad SAW memulai tugasnya sebagai rasul yang melaksanakan penddidikan islam terhadap umatnya, Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut secara sempurna melalui pengalaman, pengenalan budayanya. Dengan potensi fitrahnya yang luar biasa, ia mampusecara sadar mengadakan penyesuaian diri dengan masyarakat dan lingkungan, beliau tidak larut sama sekali ke dalamnya. Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya , dan dengan potensi fitrahnya yang luar biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa arus budaya masyarakatnya.[2] Pada masa ini pendidikan Islam diartikan pembudayaan ajaran Islam yaitu memasukkan ajaran-ajaran Islam dan menjadikannya sebagai unsur budaya bangsa Arab dan menyatu kedalamnya. Dengan pembudayaan ajaran Islam ke dalam sistem dan lingkungan budaya bangsa arab tersebut, maka terbentuklah sistem budaya Islam dalam lingkungan budaya bangsa Arab. Dalam proses pembudayaan ajaran Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa Arab berlangsung dengan beberapa cara. Ada kalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran bersifat memperkaya dan melengkapi unsur budaya yang telah ada dengan menambahkan yang baru. Ada kalanya Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan unsur budaya yang telah ada sebelumnya yang sudah menjadi adat istiadat. Ada kalanya Islam mendatangkan ajaran yang bersifat meluruskan kembali nilai-nilai yang sudah ada yang praktiknya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.
Untuk mengaktualisasikan dan memfungsikan potensi tersebut ke dalam pribadi manusia diperlukan upaya kependidikan yang sistematis dan terencana dengan baik sehingga dapat menghasilkan pribadi manusia yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur.
 Walaupun pada zaman Nabi Muhammad Saw, memimpin masyarakat Makkah dan Madinah belum muncul lembaga pendidikan semacam madrasah sebagaimana yang dikembangkan oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada masa dinasti Saljuk ( 1065-1067), tapi pendidikan islam secara institusional telah berproses secara mapan.[3]
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka paper ini, akan mencoba menguraikan tentang lembaga-lembaga pendidikan islam yang ada sebelum madrasah. Adapun rumusan masalah yang dijelaskan dalam paper ini adalah: bagaimana lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah?
Adapun tujuan penulisan paper ini adalah: untuk mengetahui bagaimana lembaga pendidikan islam sebelum madrasah.
Penulisan paper ini diharapkan bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang haus akan ilmu pengetahuan pada umumnya,

B.     LEMBAGA-LEMBAGA PENDIIKAN ISLAM SEBELUM MADRASAH
Sebelum timbulnya madrasah atau universitas yang kemudian dikenal sebagai pendididkan formal, dalam dunia Islam sebenarnya telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan islam yang bersifat nonformal. Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Di antara lembaga-lembaga pendidikan islam yang adA sebelum madrasah pada masa klasik cukup banyak. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Abuddin Nata, antara lain:
Suffah
merupakan tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan, biasanya tempat ini menyediakan pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Kurikulum yang diajarkan adalah membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum islam di bawah bimbingan langsung dari nabi. pada masa itu setidaknya telah ada sembilan Shuffah yang tersebar di Madinah. Salah satu di antaranya di samping masjid Nabawi. Rasulullah mengangkat Ubaid Ibn al-Samit sebagai guru pada sekolah shuffah di Madinah. dalam perkembangan berikutnya, sekolah Suffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung, kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu fonetik.[4]
Kuttab / Maktab
Kuttub atau maktab, berasal dari kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah tempat belajar menulis. Sebelum datangnya islam kuttub telah ada di negeri Arab. Walaupun belum banyak dikenal. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri Hirah.[5]
Kemudian pada akhirnya abad pertama Hijriyah, mulai ntimbul mjenis kuttub, yang di samping memberikan pelajaran menulis dan membaca Al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran agama. Pada mulanya, kuttub jenis ini, merupakan pemindahan dari pengajaran al-Qur’an yang berlangsung di Masjid, yang sifatynya umum (bukan saja bagi anak-anak, tetapi terutama bagi orang-orang dewasa). Anak-anak ikut pengajian di dalamnya tetapi karena mereka tidak dapat diharapkan untuk menjaga kesucian dan kebersihan masjid, lalu diadakan tempat khusus di samping masjid untuk tempat anak-anak belajar Al-Qur’an dan pokok-pokok agama. Selanjutnya berkembanglah tempat-tempat khusus (baik yang dihubungakan dengan masjid ataupun terpisah) untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttub-kuttub yang bukan hanya mengajarkan Al-Qur’an, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan dasar lainnya.[6]
Philip K. Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan di Kuttab berorientasi kepada al-Qura’an sebagai text book. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis, kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah Nabi, Hadits. Khususnya yang berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Mengenai kurikulum ini Ahmad Amin juga menyepakatinya.Sejak abad ke 8 H, Kuttab mulai mengajarkan pengatahuan umum di samping ilmu agama Islam hal ini disebabkan karena adanya persentuhan Islam dengan warisan budaya Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang kurikulum pendidikan Islam. Dalam perkembagan selanjutnya Kuttab dibedakan menjadi dua, yaitu Kuttab yang mengajarkan pengetahuan nonagama (secular learning) dan Kuttab yang mengajarkan ilmu agama (relegious learning). Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttub pada awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai waktu belajar di kuttub, Muhammad Yunus menyebutkan dimulai hari sabtu pagi hingga kamis siang dengan waktu sebagai berikut: (1) Al-Qur’an : pagi sampai dengan Dhuha (2) Menulis: Dhuha sampai dengan Dzuhur (3) Gramatikal Arab, Matematika, Sejarah: Ba’da Dzuhur sampai dengan siang.[7]
Jika dikaji dan diuji system Pendidikan Kuttab dengan pendidikan sekarang ini, system pendidikan kuttub mungkin lebih baik dikarenakan nilai yang ditanamkan keterampilan, tanpa ada unsur lain yang mempengaruhi proses pembelajaran. Bagi yang tidak bisa terampil maka ia tertinggal.
Halaqah
Halaqah, merupakan institusi pendidikan islam setingkat dengan pendidikan lanjutan atau college. Sistem pengajarannya adalah, murid duduk melingkar dengan guru berada di tengah dengan menjelaskan, menerangkan, membacakan karangannya, atau memberikan komentar terhadap pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah dan tidak khusus mengajarkan atau mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum termasuk filsafat. Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokan ke dalam lembaga pendidikan yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum atau atau pendidikan tingkat lanjutan.[8]
Halaqah merupakan kumpulan individu yang berkeinginan kuat untuk membentuk kepribadian muslim secara terpadu yang berlandaskan kepada Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu peranan halaqah sangat penting dalam tujuan pembentukan kepribadian muslim, yang pelaksanaannya berlandaskan kepada contoh Nabi ` dalam membina para sahabatnya. Halaqah sebagai perisai pelindung bagi pesertanya dari pengaruh eksternal yang kotor. Masing-masing peserta terikat hubungan persaudaraan yang mendalam seperti keluarga. Halaqah juga merupakan kumpulan individu yang mempunyai kepentingan yang sama untuk meningkatkan iman dan amal saleh.[9]
Sedangkan menurut Hasbullah, metode halaqah atau wetonan adalah metode yang di dalamnya terdapat seorang kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan kiyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara kolektif. [10]
Tidak jauh berbeda, Haidar Putra Daulay dalam bukunya Sejarah Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia menuturkan, wetonan atau bandonganadalah metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, santri menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan.[11]
Pendidikan melalui sistem halaqah ini mengembangkan program yang berkelanjutan sehingga memperoleh suatu interaksi dengan Islam secara intensif. Pematangan kejiwaan, pemikiran, akidah, dan pematangan perilaku merupakan kegiatan berkelanjutan. Pematangan secara berkelanjutan ini hanya dapat dilakukan dengan sarana halaqah.
Dari paparan di atas, dapat disimpulkan bahwa halaqah merupakan sekumpulan individu muslim yang bersungguh-sungguh dan berusaha untuk tolong menolong sesama anggota halaqah untuk mempelajari, memahami, dan mengamalkan Islam secara menyeluruh yang berlandaskan al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah `. 

Majlis atau Salon Kesusatraan
Istiah masjlis telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama. Mulanya ia merujuk pada arti tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya disaat dunia pendidikan islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas pengajaran dan diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai sejumlah akivitas pengajaran, sebagi contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-Syaf’iartinya majlis yang mengajarkan fiqih imam Syafi’i.
Majlis atau salon kesusatraan yang dimaksud adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh khalifah untuk mermbahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula sejak zaman Khulafa Ar-rasyidin, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang dihadapi pada masa itu. tempat pertemuan padamasa itu adalah mesjid. Setelah pada masa khalifah Bani Umaiyah tempat majlis tersebut dipindahkan ke istana. dan hanya dihadiri oleh orang orang tertentu saja. Bahkan pada masa khalifah Abbasiyah, majlis sastra ini sangat menjadi kebanggaan. khalifah yang memang pada umumnya khalifah-khalifah Bani Abbas ini sangat menarik perhatian pada perkembangan ilmu pengetahuan.Salon sastra yang berkembang di sekitar para khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi tempat pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan.[12]
Pada masa Harun Ar-Rasyid majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar bisa, karena khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan yang cerdas, sehingga khalifah aktif didalamnya. Di samping itu pada masa tersebut dunia islam memang diwarnai oleh perkembangan ilmu pengetahuan sedangkan Negara dalam keadaan aman. Pada masa beliau juga sering diadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan antara fuqaha dan juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.[13]
Seiring dengan  masa perkembangan ilmu pengetahuan, pendidikan Islam mengalami zaman keemasan majelis berarti sesi dimana aktifitas pengajaran atau diskusi berlangsung seiring dengan perkembangan pengetahuan dalam Islam. Majelis digunakan untuk kegiatan transfer keilmuan dari berbagai ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Setidaknya ada 7 macam majelis yang dapat diketahui yaitu :
Majlis al-Hadits
Majlis ini biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam  bidang hadits. Ulama tersebut membentuk majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-murid. Majlis ini bisa berlangsung antara 20-30 thun. Dan jumlah peserta yang mengikuti majlis dapat mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali di masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang.
Majlis At-Tadris
Majelis ini biasanya menunjukkan kepada majelis selain dari pada hadits, seperti majelis fiqih. Majelis nahwu, atau majelis kalam.
Majlis al-Munazharoh
Majelis ini dipergunakan sebagai sarana untuk membahas perbedaan mengenai suatu masalah oleh para ulama’. Menurut Ahmad Syalabi khalifah Muawiyah sering mengundang para ulama’ untuk berdiskusi di istananya, demikian juga dengan khalifah al-Ma’mun dan dinasti Abbasiah. Di luar istana majlis ini ada yang dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa kontes terbuka dikalangan ulama’. Untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk mencari populeritas ulama’ saja.
Majlis al Muzakaroh
Majelis ini merupakan inovasi dari murid-murid yang belajar hadis. Majelis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul dan saling mengingat dan mengulangi pelajaran yang sudah diberikan sambil menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis al-Muzakarah ini dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadis, materi hadis, perawi hadis, hadis-hadis dhoif, korelasi hadis dengan bidang ilmu tertentu, kitab-kitab musnad.
Dengan adanya majlis Mudzakarah ini bertujuan agar tukar pemikiran dan pemecahan masalah mteri bisa dipecahkan dengan jalan diskusi yang intrn dan otak yang memanas bukan hati yang terasa panas.
Majlis al-Syu’ara
Majlis ini adalah lembaga untuk belajar syair dan juga sering dipakai untuk kontes para ahli syair
Majlis al-Adab
Majlis ini adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah dan laporan sejarah bagi orang orang terkenal.
           Majelis al-Fatwa dan Majlis al-Nazar
Majlis ini  merupakan sarana pertemuan untuk mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan. Disebut pula majelis al-Nazar karena karakteristik Majelis ini adalah majlis tempat perdebatan diantara ulama fiqih/hukum islam.[14]
Masjid
Dilihat dari segi harfiyah mesjid adalah tempat sembah-Yang. Perkataan mesjid berasal dari bahasa arab. Kata pokoknya Sujudan, Fiil Madinya sajada (ia sudah sujud). Fi’il madinya sajada diberi awalan Ma, sehingga terjadilah isim makan. Isim makan ini menyebabkan berubahan bentuk sajada menjadi masjidu, masjid dari ejaan aslinyanya adalah Masjid (dengan a) pengambilan alih kata Masjid oleh bahasa Indonesia umumnya membawa proses perubahan bunyi a menjadi e sehingga terjadilah bunyi Mesjid. Perubahan bunyi ma menjadi me, disebabkan tanggapan awalan me dalam bahasa Indonesia. Bahwa hal ini salah, sudah tentu kesalahan umum seperti ini dalam Indonesianisasi kata-kata asing sudah biasa. Dalam ilmu bahasasudah menjadi kaidah, kalau suatu penyimpangan atau kesalahan dilakukan secara umum, ia dianggap benar. Menjadilah ia kekecualian.[15]
Sedangkan secara umum Mesjid adalah tempat suci umat islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat kegiatan keagamaan, dan kemasyarakatan yang harus dibina, dipelihara dan dikembangkan secara teratur dan terencana. untuk menyemarakan siar islam, meningkatkan semarak keagamaan dan menyemarakan kualitas umat islam dalam mengabdi kepada allah, sehingga partisipasi dan tanggung jawab umat islam terhadap pembangunan bangsa akan lebih besar.
Mesjid  disamping sebagai tempat ibadah, tempat berdialog antara hamba dan Khaliknya, juga berfungsi sebagai wahana yang tepat, guna bagi pembinaan manusia  menjadi insan yang beriman bertaqwa dan beramal shalih, mesjid bukan hanya tempat sembah-Yang dan tempat sujud semata, melainkan pula sebagai tempat kegiatan sosial dan kebudayaan maka bangunan Mesjid harus dijaga kesuciannya. Kesucian dimaksud adalah baik secara fisik kerapian tempat maupun persyaratan bagi setiap yang memasuki.
Setelah hijrah ke Madiah, pendidikan kaum muslimin berpusat di masjid-masjid. Masjid Quba merupakan masjid pertama yang dijadikan Nabi sAW sebagai institusi pendidikan. Di dalam masjid, Rasulullah mengajar dan memberi khotbah dalam bentuk halaqah di mana para sahabat duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya jawab berkaitan urusan agama dan kehidupan sehari-hari. Semakin luas wilayah islam yang ditaklukan islam, semakin meningka bilangan masjid yang didirkan, di antara masjid yang dijadikan pusat penyabaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, masjid Bashrah, dan banyak lagi.[16]
Begitu juga pada masa khalifah bani umayah, masjid berkembang fungsinya sebagai tempat pengembagan ilmu pengetahan terutama yang besifat keagamaan. Selanjutnya pada masa Dinasti Abbasiyah dan masa perkembangan kebudayaan islam, masjid-masjid yang didirikan oeh para penguasa pada umumnya tempat untuk pendidikn anak-anak, pengajaran orang dewasa (halaqah), juga ruang perpustakaan dengan buku-buku yang lengkap. [17]
Fungsi utama mesjid yang lainnya adalah sebagai tempat pendidikan. Beberapa mesjid, terutama mesjid yang didanai oleh pemerintah, biasanya menyediakan tempat belajar baik ilmu keislaman maupun ilmu umum. Masjid biasanya menyediakan pendidikan paruh waktu, biasanya setelah subuh, maupun pada sore hari. Pendidikan di masjid ditujukan untuk segala usia, dan mencakup seluruh pelajaran, mulai dari keislaman sampai sains.
Selain itu, tujuan adanya pendidikan di mesjid adalah untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid. Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di beberapa negara berpenduduk Muslim.
Oleh sebab itu implikasi masjid sebagai lembaga pendidikan islam adalah: mendidik anak untuk tetap beribadah kepada Allah SWT. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan menanamkan solideritas social, serta menyeadarkan hak-hak dan kewajibannya sebagai insan pribadi, sosial dan warga Negara. Serta memberi rasa ketentrmaan, kekuatan dan kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran, keberanian, kesadaran, perenungan, optimism dan pengadaan penelitian.[18]

Khan
pendidikan  Islam  dan  masjid merupakan suatu kesatuan  yang integral,  dimana  masjid menjadi  pusat  dan  urat nadi  kegiatan  keislaman  yang meliputi  kegiatan  keagamaan,  politik, kebudayaan,  ekonomi,  dan  yudikatif.  Mulai  sejak masa  Rasulullah SAW,  dengan  masjid Quba  dan  Nabawi  hingga  masjid  Baghdad pada masa dinasti Abbasiyah, masjid selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Dari Masjid, kemudian berkembang menjadiMasjid Khan sebagai Transformasi Tradisi. Khan adalah sebagai tempat pemondokan bagi pencari ilmu di lingkungan halaqah masjid dari berbagai wilayah Islam.
Khan biasanya difungsikan sebagai penyimpanan barang dalam jumlah besa, atau sebagai sarana komersial yang memiliki banyak took, seperti khan a-Nasri yang berlokasi di alun-alun Karkh Baghdad. Khan juga berfungsi sebagi asrama untuk murid-murid dan pasar kota yang hendak belajar hokum Islam di suatu masjid, juga digunakan sebagi sarana untuk belajar privat[19]
Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, namun pada kelanjutannya banyak ribath yang digunakan sebagai kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh seorang syeikh yang terkenal dengan ilmu kesalihannya. Pada perkembangan lebih lanjut, setelah munculnya madrasah, banyak madrasah yang dilengkapi ribath-ribath. Sejak masa dinasti Saljuk, Madrasah dan Ribath diorganisir dalam satu kebijakan yang sama, yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.[20]
Dibutuhkan pemahaman mengenai sufi itu sendiri karena sebenarnya al ribath merupakan tempat kegiatan sufi untuk menjauhkan diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata beribadah. Dengan kata lain sufimerupakan obyek dari Al -Ribath. [21]
Rumah-rumah Ulama
Pada masa awal Islam, proses pendidikan Islam dilaksanakan secara infornal, maksudnya proses pendidikan itu berlangsung di rumah-rumah. Dan di   rumah itulah Nabi Muhammad Saw menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar  agama serta mengajarkan Al-qur’an kepada mereka. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada lembaga ini masih berbentuk halaqah belum memiliki kurikulum. Sedangkan sistem dan materi- materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya kepada Nabi SAW. Pada hakikatnya lembaga pendidikan di rumah ini telah diterapkan sebelum Kuttab dan makktab dan pada waktu itu rumah yang pertama dijadikan tempat pertemuan untuk menyampaikan ajaran agama adalah rumah Al-Arqam bin Abi Arqam.[22]
Pada perkembangan selanjutnya rumah para ulama’ terkenal yang menjadi tempat kegiatan belajar dan mengajar adalah rumah Ibnu Sinah, Al-Ghazali, rumah Ali Ibnu Muhammad, rumah Al-Fashihih, rumah Ya’kub Ibnu Killis, rumah Wazir Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimi, Rumah Abu Muhammad Ibnu Hattim Al Razi Al Hafiz dan rumah Abi Sulaiman Al Sajastani.[23]
Rumah-rumah para ulama’ di atas dijadikan sebagai tempat pusat pembelajaran pada waktu itu dengan pertimbangan bahwa (a) rumah sebenarnya dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang bersifat khusus (b) Situasi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu sibuk, lelah, umur suda tua dan lain-lain (c) Anggapan bahwa mendatangi guru untuk belajar lebih baik dari pada guru mendatang muridnya untuk mengajar.[24]
Dari proses pembelajaran rumah ini penulis dapat mengambil hikmah yang luar biasa yakni sangat ideal pendidikan anak-anak untuk menjadi shalih dan shalihah adalah dimulai dari lingkungan rumah. Artinya orang tua berperan penting dalam pembentukan karakter, baik pengetahuan, sikap dan keterampilan mereka. Untuk itu tidak bisa kalau kemudian orang tua melepaskan anak keturunan mereka untuk dididik dan dibina melalui lembaga  masyarakat dan sekolah tanpa diawali pendidikan keluarga, anak-anak bersangkutan diharapkan menjadi sempurna. Karena apapun alasannya pendidikan rumah tetap menjadi lembaga utama dan ideal dalam tumbuh kembang kepribadian anak-anak.
Toko-toko Buku dan Perpustakaan
Selama masa kejayaan Dinasti Abbasiyah , toko-toko buku berkembang dengan pesat seiring dengan pesatnya perkembangan ilmu pengetahuan. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai tempat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pemgetahuan yang berkembang pada masa itu. mereka membeli dari para penulisnya kemudian menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Pemilik toko buku biasanya berfungsi sebagai tun rumah dan kadang-kadang sebagi pemimpin lingkaran studi tersebut. Ini semua menunjukan bahwa betapa antusias umat islam masa itu dalam menuntut ilmu.[25]
Salah satu ciri penting pada masa Dinasti Abbasiyah adalah tumbuh dan berkembangnya dengan pesat perpustakaan-perpustakaan baik perpustakaan yang sifatnya umum didirikan oleh pemerintah, maupun perpustakaan yang sifatnya khusus didirikan oleh para ulama atau para sarjana. Bait Al Hikmah adalah perpustakaan yang didirikan oleh Harun Ar-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Al-Ma’mun, merupakan salah satu contoh dari perpustakaan dunia Islam yang lengkap, yang berisi ilmu agama dan bahasa arab. Di dalamnya terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang berkembang pada masa itu serta berbagai buku terjemahan dari bahasa yunani, Persia, India, Qibti dan Aramy.[26]  Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku sangat mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh ilmu pengetahuan, dan untuk selanjunya di kembangkan.
Di samping toko buku, perpustakaan juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam. Penguasa-penguasa biasanya mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja atau di istana raja-raja.

Rumah Sakit
Rumah sakit pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang kedokteran dan obat-obatan selalu dilaksanakan, sehingga ilmu kedokteran dan obat-obatan berkembang cukup pesat.
Rumah sakit juga merupakan tempat praktkum sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah sakit, ada juga sekolah kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit , dengan demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan.[27] 
Badiah (Padang Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)
Semenjak berkembang islam secara luas, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa pengantar oleh bangsa-baangsa di luar Arab yang beragama Islam. Namun bahasa Arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahsa arab, sehingga bahasa Arab menjadi bahsa Arab menjadi bahasa pasaran. Namun tidak demikian halnya di Badiah-badiah. Mereka tetap memperhatikan keaslian dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian, badiah-badiiah ini merupakan sumber bahasa Arab yang asli dan murni. Di masa klasik, badiah-badiah menjadi pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni, sehingga banyak anak-anak khalifah,ulama-ulama, dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusatraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[28]

C.    PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis menyederhanakan dan membuat kesimpulan  tentang lembaga-lembaga pendidikan Islam pra madrasah sebagai tindakan penyederhanaan konsep agar mudah dipahami dan dimengerti tentang pertumbuhan dan perkembangan lembaga pendidikan era klasik pra madrasah ini adalah sebagai berikut: (a) Suffah (b) Kuttub/ Maktab (c) halaqah, (d) majlis, yang ada 7 macam majlis sebagai berikut: Majlis al-Hadits, Majlis At-Tadris, Majlis al-Munazharoh, Majlis al Muzakaroh, Majlis al-Syu’ara, Majlis al-Adab dan Majelis al-Fatwa dan Majlis al-Nazar.(e) Masjid (f) khan (g) Ribath (h) Rumah Ulama (i) toko buku dan perpustakaan (j) Rumah Sakit (k) Badiah (padang pasir, Dusun tempat tinggal badwi).



Paper ini membahas tentang pendidikan islam di masa klasik yang terdapat beberapa lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah, terdapat juga suatu kurikulum dan metode suatu system pendidikan yang klasik dan tradisional tapi mampu mencetak para cendikiawan muslim yang terkemuka dari zaman dahulu hingga sekarang . Dengan adanya paper ini diharapkan bisa membantu dalam penelaahan suatu system pendidikan di zaman modrn ini.  


DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Harun, 1999. Sejarah pendidikan Islam, Jakarta: Logo.
Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah, 2014. Sejarah Pendidikan Islami, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Gazalba, Sidi, 1989. Mesjid Pusat Ibadat Dan Kebudayaan Islam , Jakarta: pustaka al-husna.
Hasbullah,1999. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hasbullah, 1999. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin,2004. Sejarah Pendidikan Islam, (pada periode klasik dan pertengahan), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin, 2011. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana.
Prayitno, Irwan, 2003. Kepribadian Dai: Bahan Panduan bagi Dai dan Murabbi, Bekasi:Pustaka Tarbiatuna.
Putra, Haidar, Daulay, 2009. Sejarah Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Ramayulis, 2011. Sejarah Pendidikan Islam, napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara, Jakarta: Kalam Mulia.
Suwito, 2005. sejarah Sosial Pendidikan Islam Islam, Jakarta: Kencana.
Yunus, Muhammad, 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Hidakarya Agung.
Zuhairini, 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi Aksara.





[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam(pada periode klasik dan pertengahan), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 29
[2] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 6
[3] Abuddin Nata, op. cit.,31
[4] Abuddin Nata, op. cit.,31
[5] Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta: Bumi Aksara, 1997), h. 89
[6] Ibid., 91
[7] Abuddin Nata, op. it.,34.
[8] Harun Asrohah, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta: Logo,1999), 49
[9] Irwan Prayitno, Kepribadian Dai: Bahan Panduan bagi Dai dan Murabbi, Pustaka Tarbiatuna, Bekasi, 2003, hlm. 387.

[10] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 26.
[11]Haidar Putra Daulay, Sejarah Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 69.
[12] Suwito, sejarah Sosial Pendidikan Islam Islam,(Jakarta: Kencana, 2005), h.103.
[13] Ibid
[14] Abuddin Nata, op. cit.,35-37
[15] Sidi Gazalba, mesjid pusat ibadat dan kebudayaan islam ( Jakarta: Pustaka Al-Husna 1989) cet.5 hal.118
[16] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta: Kencana, 2011), h. 97.
[17] Suwito, op. cit.,104
[18] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.132
[19] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 42
[20]Abuddin Nata, op. cit.,39
[21] Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam, (Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), cet. Ke-6, h. 95-96
[22] Muhammad Yunus, Ibid., h. 9
[23] Zuhairini, Op.Cit., h 95
[24] Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam, napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama Nusantara,(Jakarta: Kalam Mulia, 2011),  h. 81
[25] Suwito, op. cit.,103
[26] Zuhairini at.al. Op.Cit., h 98
[27] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Op.Cit., h 44
[28] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Op.Cit., h 45

Tidak ada komentar:

Posting Komentar