LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM
SEBELUM MADRASAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
individu dalam
Mata Kuliah Sejarah Pendidikan
Islam
Team Teaching
Dr. Supardi, Ph.D
Dr. Muhajir, MA.
Disusun oleh :
Dede Fatchuroji
NIM: 1640100394
PRODI PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI-A)
/ II
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2016
LEMBAGA-LEMBAGA PENDIDIKAN ISLAM SEBELUM
MADRASAH
Dede Fatchuroji
Abstrak
Madrasah
berguna sebagai wadah jalannya proses pendidikan Islam pada masa sekarang yang
sistematis dan terencana akan tetapi pada masa klasik belum adanya suatu
madrasah tapi terdapat proses pendidikan Islam yang terbukti bisa mencetak para
candikiawan muslim. Adapun rumusan masalah yang dijelaskan dalam paper
ini adalah: bagaimana lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah?
Sedangkan tujuan penulisan paper ini adalah: untuk mengetahui bagaimana
lembaga pendidikan islam sebelum madrasah. Penulisan paper ini diharapkan
bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang haus akan ilmu
pengetahuan pada umumnya, pembahasannya adalah: pendidikan
era klasik pra madrasah, sebagai berikut: (a) Suffah (b) Kuttub/ Maktab (c) halaqah,
(d) majlis, yang ada 7 macam majlis sebagai berikut: Majlis
al-Hadits, Majlis At-Tadris, Majlis al-Munazharoh, Majlis al Muzakaroh, Majlis
al-Syu’ara, Majlis al-Adab dan Majelis al-Fatwa dan Majlis al-Nazar.(e)
Masjid (f) khan (g) Ribath (h) Rumah Ulama (i) toko buku dan
perpustakaan (j) Rumah Sakit (k) badiah (padang pasir, Dusun tempat tinggal
badwi).
KATA KUNCI: Kejayaan Islam, Pendidikan Islam
A.
PENDAHULUAN
Agama Islam yang diwahyukan kepada
Nabi Muhammad Saw. Mengandung implikasi kependidikan yang bertujuan untuk
menjadi rahmat bagi sekian alam. Dalam agama islam terkandung potensi yang
mengacu kepada dua fenomena perkembangan, yaitu: pertama, potensi
psikologi dan paedagogis yang mempengaruhi manusia untuk menjadi pribadi yang
berkualitas bijak dan menyandang derajat yang muliamelebihi makhluk-makhluk
lainnya. Kedua, potensi
pengembangan kehidupan manusia sebagai khalifah di muka bumi yang
dinamis dan kreatif serta responsip terhadap lingkungan sekitarnya, baik yang
alamiah maupun yang ijtima’iyah, di mana Tuhan menjadi potensi sentral
perkembangannya. [1]
Sebelum Nabi Muhammad SAW memulai
tugasnya sebagai rasul yang melaksanakan penddidikan islam terhadap umatnya,
Allah telah mendidik dan mempersiapkannya untuk melaksanakan tugas tersebut
secara sempurna melalui pengalaman, pengenalan budayanya. Dengan potensi
fitrahnya yang luar biasa, ia mampusecara sadar mengadakan penyesuaian diri
dengan masyarakat dan lingkungan, beliau tidak larut sama sekali ke dalamnya.
Ia mampu menyelami kehidupan masyarakatnya , dan dengan potensi fitrahnya yang
luar biasa mampu mempertahankan keseimbangan dirinya untuk tidak hanyut terbawa
arus budaya masyarakatnya.[2]
Pada masa ini pendidikan Islam diartikan pembudayaan ajaran Islam yaitu
memasukkan ajaran-ajaran Islam dan menjadikannya sebagai unsur budaya bangsa
Arab dan menyatu kedalamnya. Dengan pembudayaan ajaran Islam ke dalam sistem
dan lingkungan budaya bangsa arab tersebut, maka terbentuklah sistem budaya
Islam dalam lingkungan budaya bangsa Arab. Dalam proses pembudayaan ajaran
Islam ke dalam lingkungan budaya bangsa Arab berlangsung dengan beberapa cara.
Ada kalanya Islam mendatangkan sesuatu ajaran bersifat memperkaya dan
melengkapi unsur budaya yang telah ada dengan menambahkan yang baru. Ada
kalanya Islam mendatangkan ajaran yang sifatnya bertentangan sama sekali dengan
unsur budaya yang telah ada sebelumnya yang sudah menjadi adat istiadat. Ada
kalanya Islam mendatangkan ajaran yang bersifat meluruskan kembali nilai-nilai
yang sudah ada yang praktiknya sudah menyimpang dari ajaran aslinya.
Untuk mengaktualisasikan dan
memfungsikan potensi tersebut ke dalam pribadi manusia diperlukan upaya
kependidikan yang sistematis dan terencana dengan baik sehingga dapat
menghasilkan pribadi manusia yang bermartabat dan berbudi pekerti luhur.
Walaupun pada zaman Nabi Muhammad Saw,
memimpin masyarakat Makkah dan Madinah belum muncul lembaga pendidikan semacam
madrasah sebagaimana yang dikembangkan oleh Nizam al-Mulk, perdana menteri pada
masa dinasti Saljuk ( 1065-1067), tapi pendidikan islam secara institusional
telah berproses secara mapan.[3]
Berdasarkan uraian-uraian di atas maka
paper ini, akan mencoba menguraikan tentang lembaga-lembaga pendidikan
islam yang ada sebelum madrasah. Adapun rumusan masalah yang dijelaskan dalam paper
ini adalah: bagaimana lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah?
Adapun tujuan penulisan paper ini
adalah: untuk mengetahui bagaimana lembaga pendidikan islam sebelum madrasah.
Penulisan paper ini
diharapkan bermanfaat bagi penulis khususnya dan para pembaca yang haus akan
ilmu pengetahuan pada umumnya,
B.
LEMBAGA-LEMBAGA PENDIIKAN ISLAM
SEBELUM MADRASAH
Sebelum timbulnya madrasah atau universitas
yang kemudian dikenal sebagai pendididkan formal, dalam dunia Islam sebenarnya
telah berkembang lembaga-lembaga pendidikan islam yang bersifat nonformal.
Lembaga-lembaga ini berkembang terus dan bahkan bersamaan dengannya tumbuh dan
berkembang bentuk-bentuk lembaga pendidikan non formal yang semakin luas. Di
antara lembaga-lembaga pendidikan islam yang adA sebelum madrasah pada masa
klasik cukup banyak. Hal ini sebagaimana disebutkan oleh Abuddin Nata, antara
lain:
Suffah
merupakan
tempat yang dipakai untuk aktivitas pendidikan, biasanya tempat ini menyediakan
pemondokan bagi pendatang baru dan mereka yang tergolong miskin. Kurikulum yang
diajarkan adalah membaca dan menghafal Alquran secara benar dan hukum islam di
bawah bimbingan langsung dari nabi. pada masa itu setidaknya telah ada sembilan
Shuffah yang tersebar di Madinah. Salah satu di antaranya di samping
masjid Nabawi. Rasulullah mengangkat Ubaid Ibn al-Samit sebagai guru pada
sekolah shuffah di Madinah. dalam perkembangan berikutnya,
sekolah Suffah juga menawarkan pelajaran dasar-dasar berhitung,
kedokteran, astronomi, geneologi dan ilmu fonetik.[4]
Kuttab / Maktab
Kuttub atau maktab, berasal dari
kata dasar kataba yang berarti menulis atau tempat menulis. Jadi katab adalah
tempat belajar menulis. Sebelum datangnya islam kuttub telah ada di negeri
Arab. Walaupun belum banyak dikenal. Di antara penduduk Makkah yang mula-mula
belajar menulis huruf Arab ialah Sufyan Ibnu Umaiyah Ibnu Abdu Syams, dan Abu
Qais Ibnu Abdi Manaf Ibnu Zuhroh Ibnu Kilat. Keduanya mempelajarinya di negeri
Hirah.[5]
Kemudian pada
akhirnya abad pertama Hijriyah, mulai ntimbul mjenis kuttub, yang di samping
memberikan pelajaran menulis dan membaca Al-Qur’an dan pokok-pokok ajaran
agama. Pada mulanya, kuttub jenis ini, merupakan pemindahan dari pengajaran
al-Qur’an yang berlangsung di Masjid, yang sifatynya umum (bukan saja bagi
anak-anak, tetapi terutama bagi orang-orang dewasa). Anak-anak ikut pengajian
di dalamnya tetapi karena mereka tidak dapat diharapkan untuk menjaga kesucian
dan kebersihan masjid, lalu diadakan tempat khusus di samping masjid untuk
tempat anak-anak belajar Al-Qur’an dan pokok-pokok agama. Selanjutnya
berkembanglah tempat-tempat khusus (baik yang dihubungakan dengan masjid
ataupun terpisah) untuk pengajaran anak-anak dan berkembanglah kuttub-kuttub yang
bukan hanya mengajarkan Al-Qur’an, tetapi juga pengetahuan-pengetahuan dasar
lainnya.[6]
Philip K.
Hitti mengatakan bahwa, kurikulum pendidikan di Kuttab berorientasi kepada
al-Qura’an sebagai text book. Hal ini mencakup pengajaran membaca dan menulis,
kaligrafi, gramatikal bahasa Arab, sejarah Nabi, Hadits. Khususnya yang
berkaitan dengan Nabi Muhammad SAW. Mengenai kurikulum ini Ahmad Amin juga
menyepakatinya.Sejak abad ke 8 H, Kuttab mulai mengajarkan pengatahuan umum di
samping ilmu agama Islam hal ini disebabkan karena adanya persentuhan Islam
dengan warisan budaya Helenisme sehingga banyak membawa perubahan dalam bidang
kurikulum pendidikan Islam. Dalam perkembagan selanjutnya Kuttab dibedakan
menjadi dua, yaitu Kuttab yang mengajarkan pengetahuan nonagama (secular
learning) dan Kuttab yang mengajarkan ilmu agama (relegious learning).
Dengan adanya perubahan kurikulum tersebut dapat dikatakan bahwa kuttub pada
awal perkembangan merupakan lembaga pendidikan yang tertutup dan setelah adanya
persentuhan dengan peradaban Helenisme menjadi lembaga pendidikan yang terbuka
terhadap pengetahuan umum, termasuk filsafat.
Mengenai waktu
belajar di kuttub, Muhammad Yunus menyebutkan dimulai hari sabtu pagi
hingga kamis siang dengan waktu sebagai berikut: (1) Al-Qur’an : pagi sampai
dengan Dhuha (2) Menulis: Dhuha sampai dengan Dzuhur (3) Gramatikal Arab,
Matematika, Sejarah: Ba’da Dzuhur sampai dengan siang.[7]
Jika dikaji
dan diuji system Pendidikan Kuttab dengan pendidikan sekarang ini, system
pendidikan kuttub mungkin lebih baik dikarenakan nilai yang ditanamkan
keterampilan, tanpa ada unsur lain yang mempengaruhi proses pembelajaran. Bagi
yang tidak bisa terampil maka ia tertinggal.
Halaqah
Halaqah,
merupakan institusi pendidikan islam setingkat dengan pendidikan lanjutan atau
college. Sistem pengajarannya adalah, murid duduk melingkar dengan guru berada
di tengah dengan menjelaskan, menerangkan, membacakan karangannya, atau
memberikan komentar terhadap pemikiran orang lain. Kegiatan halaqah ini
bisa terjadi di masjid atau di rumah-rumah dan tidak khusus mengajarkan atau
mendiskusikan ilmu agama, tetapi juga ilmu pengetahuan umum termasuk filsafat.
Oleh karena itu, halaqah ini dikelompokan ke dalam lembaga pendidikan
yang terbuka terhadap ilmu pengetahuan umum atau atau pendidikan tingkat lanjutan.[8]
Halaqah merupakan kumpulan individu yang berkeinginan
kuat untuk membentuk kepribadian muslim secara terpadu yang berlandaskan kepada
Kitabullah dan Sunnah Rasul-Nya. Oleh karena itu peranan halaqah sangat penting dalam
tujuan pembentukan kepribadian muslim, yang pelaksanaannya berlandaskan kepada
contoh Nabi ` dalam membina para sahabatnya. Halaqah sebagai perisai
pelindung bagi pesertanya dari pengaruh eksternal yang kotor. Masing-masing
peserta terikat hubungan persaudaraan yang mendalam seperti keluarga. Halaqah juga merupakan kumpulan
individu yang mempunyai kepentingan yang sama untuk meningkatkan iman dan amal
saleh.[9]
Sedangkan menurut Hasbullah,
metode halaqah atau wetonan adalah metode yang di dalamnya
terdapat seorang kyai yang membaca kitab dalam waktu tertentu, sedangkan
santrinya membawa kitab yang sama, lalu santri mendengarkan dan menyimak bacaan
kiyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar mengaji secara
kolektif. [10]
Tidak jauh berbeda, Haidar
Putra Daulay dalam bukunya Sejarah
Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia menuturkan, wetonan atau bandonganadalah
metode kuliah di mana para santri mengikuti pelajaran dengan duduk di
sekeliling kyai. Kyai membacakan kitab yang dipelajari saat itu, santri
menyimak kitab masing-masing dan membuat catatan.[11]
Pendidikan melalui sistem halaqah ini mengembangkan program
yang berkelanjutan sehingga memperoleh suatu interaksi dengan Islam secara
intensif. Pematangan kejiwaan, pemikiran, akidah, dan pematangan perilaku
merupakan kegiatan berkelanjutan. Pematangan secara berkelanjutan ini hanya
dapat dilakukan dengan sarana halaqah.
Dari paparan di atas, dapat
disimpulkan bahwa halaqah merupakan sekumpulan
individu muslim yang bersungguh-sungguh dan berusaha untuk tolong menolong
sesama anggota halaqah untuk mempelajari,
memahami, dan mengamalkan Islam secara menyeluruh yang berlandaskan al-Qur’an
dan Sunnah Rasulullah `.
Majlis atau Salon Kesusatraan
Istiah masjlis
telah dipakai dalam pendidikan sejak abad pertama. Mulanya ia merujuk pada arti
tempat-tempat pelaksanaan belajar mengajar. Pada perkembangan berikutnya disaat
dunia pendidikan islam mengalami zaman keemasan, majlis berarti sesi di mana aktivitas
pengajaran dan diskusi berlangsung. Dan belakangan majlis diartikan sebagai
sejumlah akivitas pengajaran, sebagi contoh, majlis Al-Nabi, artinya majlis
yang dilaksanakan oleh nabi, atau majlis Al-Syaf’iartinya majlis yang
mengajarkan fiqih imam Syafi’i.
Majlis atau
salon kesusatraan yang dimaksud adalah suatu majlis khusus yang diadakan oleh
khalifah untuk mermbahas berbagai macam ilmu pengetahuan. Majlis ini bermula
sejak zaman Khulafa Ar-rasyidin, yang biasanya memberikan fatwa dan musyawarah
serta diskusi dengan para sahabat untuk memecahkan berbagai masalah yang
dihadapi pada masa itu. tempat pertemuan padamasa itu adalah mesjid. Setelah
pada masa khalifah Bani Umaiyah tempat majlis tersebut dipindahkan ke istana.
dan hanya dihadiri oleh orang orang tertentu saja. Bahkan pada masa khalifah
Abbasiyah, majlis sastra ini sangat menjadi kebanggaan. khalifah yang memang
pada umumnya khalifah-khalifah Bani Abbas ini sangat menarik perhatian pada
perkembangan ilmu pengetahuan.Salon sastra yang berkembang di sekitar para
khalifah yang berwawasan ilmu dan para cendekiawan sahabatnya, menjadi tempat
pertemuan untuk bertukar pikiran tentang sastra dan ilmu pengetahuan.[12]
Pada masa
Harun Ar-Rasyid majelis sastra ini mengalami kemajuan yang luar bisa, karena
khalifah sendiri adalah ahli ilmu pengetahuan yang cerdas, sehingga khalifah
aktif didalamnya. Di samping itu pada masa tersebut dunia islam memang diwarnai
oleh perkembangan ilmu pengetahuan sedangkan Negara dalam keadaan aman. Pada
masa beliau juga sering diadakan perlombaan antara ahli-ahli syair, perdebatan
antara fuqaha dan juga sayembara antara ahli kesenian dan pujangga.[13]
Seiring dengan
masa perkembangan ilmu pengetahuan,
pendidikan Islam mengalami zaman keemasan majelis berarti sesi dimana aktifitas
pengajaran atau diskusi berlangsung seiring dengan perkembangan pengetahuan
dalam Islam. Majelis digunakan untuk kegiatan transfer keilmuan dari berbagai
ilmu, sehingga majelis banyak ragamnya. Setidaknya ada 7 macam majelis yang
dapat diketahui yaitu :
Majlis al-Hadits
Majlis ini
biasanya diselenggarakan oleh ulama/guru yang ahli dalam bidang hadits. Ulama tersebut membentuk
majlis untuk mengajarkan ilmunya kepada murid-murid. Majlis ini bisa
berlangsung antara 20-30 thun. Dan jumlah peserta yang mengikuti majlis dapat
mencapai ratusan ribu orang, seperti majlis yang disampaikan oleh Ashim ibn Ali
di masjid al-Rusafa diikuti oleh 100.000 sampai 120.000 orang.
Majlis At-Tadris
Majelis ini biasanya menunjukkan kepada majelis selain dari pada
hadits, seperti majelis fiqih. Majelis nahwu, atau majelis kalam.
Majlis al-Munazharoh
Majelis ini dipergunakan sebagai sarana untuk membahas perbedaan
mengenai suatu masalah oleh para ulama’. Menurut Ahmad Syalabi khalifah
Muawiyah sering mengundang para ulama’ untuk berdiskusi di istananya, demikian
juga dengan khalifah al-Ma’mun dan dinasti Abbasiah. Di luar istana majlis ini
ada yang dilaksanakan secara kontinu dan spontanitas, bahkan ada yang berupa
kontes terbuka dikalangan ulama’. Untuk model ini biasanya hanya dipakai untuk
mencari populeritas ulama’ saja.
Majlis al Muzakaroh
Majelis ini merupakan inovasi dari murid-murid
yang belajar hadis. Majelis ini diselenggarakan sebagai sarana untuk berkumpul
dan saling mengingat dan mengulangi pelajaran yang sudah diberikan sambil
menunggu kehadiran guru. Pada perkembangan berikutnya, majlis al-Muzakarah ini
dibedakan berdasarkan materi yang didiskusikan, yaitu meliputi: sanad hadis,
materi hadis, perawi hadis, hadis-hadis dhoif, korelasi hadis dengan bidang
ilmu tertentu, kitab-kitab musnad.
Dengan adanya majlis Mudzakarah ini bertujuan
agar tukar pemikiran dan pemecahan masalah mteri bisa dipecahkan dengan jalan
diskusi yang intrn dan otak yang memanas bukan hati yang terasa panas.
Majlis al-Syu’ara
Majlis ini adalah lembaga untuk
belajar syair dan juga sering dipakai untuk kontes para ahli syair
Majlis al-Adab
Majlis ini
adalah tempat untuk membahas masalah adab yang meliputi puisi, silsilah dan
laporan sejarah bagi orang orang terkenal.
Majelis
al-Fatwa dan Majlis al-Nazar
Majlis
ini merupakan sarana pertemuan untuk
mencari keputusan suatu masalah di bidang hukum kemudian difatwakan. Disebut
pula majelis al-Nazar karena karakteristik Majelis ini adalah majlis tempat
perdebatan diantara ulama fiqih/hukum islam.[14]
Masjid
Dilihat dari segi harfiyah mesjid adalah
tempat sembah-Yang. Perkataan mesjid berasal dari bahasa arab. Kata pokoknya
Sujudan, Fiil Madinya sajada (ia sudah sujud). Fi’il madinya sajada diberi
awalan Ma, sehingga terjadilah isim makan. Isim makan ini menyebabkan berubahan
bentuk sajada menjadi masjidu, masjid dari ejaan aslinyanya adalah Masjid
(dengan a) pengambilan alih kata Masjid oleh bahasa Indonesia umumnya membawa
proses perubahan bunyi a menjadi e sehingga terjadilah bunyi Mesjid. Perubahan
bunyi ma menjadi me, disebabkan tanggapan awalan me dalam bahasa Indonesia.
Bahwa hal ini salah, sudah tentu kesalahan umum seperti ini dalam
Indonesianisasi kata-kata asing sudah biasa. Dalam ilmu bahasasudah menjadi
kaidah, kalau suatu penyimpangan atau kesalahan dilakukan secara umum, ia
dianggap benar. Menjadilah ia kekecualian.[15]
Sedangkan secara umum Mesjid adalah tempat
suci umat islam yang berfungsi sebagai tempat ibadah, pusat kegiatan keagamaan,
dan kemasyarakatan yang harus dibina, dipelihara dan dikembangkan secara
teratur dan terencana. untuk menyemarakan siar islam, meningkatkan semarak
keagamaan dan menyemarakan kualitas umat islam dalam mengabdi kepada allah,
sehingga partisipasi dan tanggung jawab umat islam terhadap pembangunan bangsa
akan lebih besar.
Mesjid
disamping sebagai tempat ibadah, tempat berdialog antara hamba dan
Khaliknya, juga berfungsi sebagai wahana yang tepat, guna bagi pembinaan
manusia menjadi insan yang beriman
bertaqwa dan beramal shalih, mesjid bukan hanya tempat sembah-Yang dan tempat
sujud semata, melainkan pula sebagai tempat kegiatan sosial dan kebudayaan maka
bangunan Mesjid harus dijaga kesuciannya. Kesucian dimaksud adalah baik secara
fisik kerapian tempat maupun persyaratan bagi setiap yang memasuki.
Setelah hijrah ke Madiah, pendidikan kaum
muslimin berpusat di masjid-masjid. Masjid Quba merupakan masjid pertama yang
dijadikan Nabi sAW sebagai institusi pendidikan. Di dalam masjid, Rasulullah
mengajar dan memberi khotbah dalam bentuk halaqah di mana para sahabat
duduk mengelilingi beliau untuk mendengar dan melakukan tanya jawab berkaitan
urusan agama dan kehidupan sehari-hari. Semakin luas wilayah islam yang
ditaklukan islam, semakin meningka bilangan masjid yang didirkan, di antara
masjid yang dijadikan pusat penyabaran ilmu dan pengetahuan ialah Masjid
Nabawi, Masjidil Haram, Masjid Kufah, masjid Bashrah, dan banyak lagi.[16]
Begitu juga pada masa khalifah bani
umayah, masjid berkembang fungsinya sebagai tempat pengembagan ilmu pengetahan
terutama yang besifat keagamaan. Selanjutnya pada masa Dinasti Abbasiyah dan
masa perkembangan kebudayaan islam, masjid-masjid yang didirikan oeh para
penguasa pada umumnya tempat untuk pendidikn anak-anak, pengajaran orang dewasa
(halaqah), juga ruang perpustakaan dengan buku-buku yang lengkap. [17]
Fungsi utama mesjid yang lainnya
adalah sebagai tempat pendidikan. Beberapa mesjid, terutama mesjid yang didanai
oleh pemerintah, biasanya menyediakan tempat belajar baik ilmu keislaman maupun
ilmu umum. Masjid biasanya menyediakan pendidikan paruh waktu, biasanya setelah
subuh, maupun pada sore hari. Pendidikan di masjid ditujukan untuk segala usia,
dan mencakup seluruh pelajaran, mulai dari keislaman sampai sains.
Selain itu, tujuan adanya
pendidikan di mesjid adalah untuk mendekatkan generasi muda kepada masjid.
Pelajaran membaca Qur'an dan bahasa Arab sering sekali dijadikan pelajaran di
beberapa negara berpenduduk Muslim.
Oleh sebab itu implikasi masjid
sebagai lembaga pendidikan islam adalah: mendidik anak untuk tetap beribadah
kepada Allah SWT. Menanamkan rasa cinta kepada ilmu pengetahuan, dan menanamkan
solideritas social, serta menyeadarkan hak-hak dan kewajibannya sebagai insan
pribadi, sosial dan warga Negara. Serta memberi rasa ketentrmaan, kekuatan dan
kemakmuran potensi-potensi rohani manusia melalui pendidikan kesabaran,
keberanian, kesadaran, perenungan, optimism dan pengadaan penelitian.[18]
Khan
pendidikan Islam
dan masjid merupakan suatu
kesatuan yang integral, dimana
masjid menjadi pusat dan
urat nadi kegiatan keislaman
yang meliputi kegiatan keagamaan,
politik, kebudayaan,
ekonomi, dan yudikatif.
Mulai sejak masa Rasulullah SAW, dengan
masjid Quba dan Nabawi
hingga masjid Baghdad pada masa dinasti Abbasiyah, masjid
selalu menjadi alternatif utama dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Dari
Masjid, kemudian berkembang menjadiMasjid Khan sebagai Transformasi Tradisi. Khan
adalah sebagai tempat pemondokan bagi pencari ilmu di lingkungan halaqah masjid
dari berbagai wilayah Islam.
Khan biasanya difungsikan sebagai
penyimpanan barang dalam jumlah besa, atau sebagai sarana komersial yang
memiliki banyak took, seperti khan a-Nasri yang berlokasi di alun-alun
Karkh Baghdad. Khan juga berfungsi sebagi asrama untuk murid-murid dan
pasar kota yang hendak belajar hokum Islam di suatu masjid, juga digunakan
sebagi sarana untuk belajar privat[19]
Ribath
Ribath adalah tempat kegiatan kaum sufi
yang ingin menjauhkan diri dari kehidupan duniawi, namun pada kelanjutannya
banyak ribath yang digunakan sebagai kegiatan keilmuan yang dipimpin oleh
seorang syeikh yang terkenal dengan ilmu kesalihannya. Pada perkembangan lebih
lanjut, setelah munculnya madrasah, banyak madrasah yang dilengkapi ribath-ribath.
Sejak masa dinasti Saljuk, Madrasah dan Ribath diorganisir dalam
satu kebijakan yang sama, yaitu kembali kepada ortodoksi sunni.[20]
Dibutuhkan pemahaman mengenai sufi itu sendiri
karena sebenarnya al ribath merupakan tempat kegiatan sufi untuk menjauhkan
diri dari kehidupan duniawi dan mengkonsentrasikan diri untuk semata-mata
beribadah. Dengan kata lain sufimerupakan obyek dari Al -Ribath. [21]
Rumah-rumah
Ulama
Pada masa awal Islam, proses pendidikan Islam
dilaksanakan secara infornal, maksudnya proses pendidikan itu berlangsung di
rumah-rumah. Dan di rumah itulah Nabi
Muhammad Saw menyampaikan dan menanamkan dasar-dasar agama serta mengajarkan Al-qur’an kepada
mereka. Hal ini berlangsung kurang lebih 3 tahun. Namun sistem pendidikan pada
lembaga ini masih berbentuk halaqah belum memiliki kurikulum. Sedangkan sistem
dan materi- materi pendidikan yang akan disampaikan diserahkan sepenuhnya
kepada Nabi SAW. Pada hakikatnya lembaga pendidikan di rumah ini telah
diterapkan sebelum Kuttab dan makktab dan pada waktu itu rumah yang pertama
dijadikan tempat pertemuan untuk menyampaikan ajaran agama adalah rumah
Al-Arqam bin Abi Arqam.[22]
Pada perkembangan selanjutnya rumah
para ulama’ terkenal yang menjadi tempat kegiatan belajar dan mengajar adalah
rumah Ibnu Sinah, Al-Ghazali, rumah Ali Ibnu Muhammad, rumah Al-Fashihih, rumah
Ya’kub Ibnu Killis, rumah Wazir Khalifah Al-Aziz billah Al-Fatimi, Rumah Abu
Muhammad Ibnu Hattim Al Razi Al Hafiz dan rumah Abi Sulaiman Al Sajastani.[23]
Rumah-rumah para ulama’ di atas
dijadikan sebagai tempat pusat pembelajaran pada waktu itu dengan pertimbangan
bahwa (a) rumah sebenarnya dapat digunakan untuk membicarakan hal-hal yang
bersifat khusus (b) Situasi guru yang mengajar agak terbatas, misalnya terlalu
sibuk, lelah, umur suda tua dan lain-lain (c) Anggapan bahwa mendatangi guru
untuk belajar lebih baik dari pada guru mendatang muridnya untuk mengajar.[24]
Dari proses pembelajaran rumah ini penulis
dapat mengambil hikmah yang luar biasa yakni sangat ideal pendidikan anak-anak
untuk menjadi shalih dan shalihah adalah dimulai dari lingkungan rumah. Artinya
orang tua berperan penting dalam pembentukan karakter, baik pengetahuan, sikap
dan keterampilan mereka. Untuk itu tidak bisa kalau kemudian orang tua
melepaskan anak keturunan mereka untuk dididik dan dibina melalui lembaga masyarakat dan sekolah tanpa diawali
pendidikan keluarga, anak-anak bersangkutan diharapkan menjadi sempurna. Karena
apapun alasannya pendidikan rumah tetap menjadi lembaga utama dan ideal dalam
tumbuh kembang kepribadian anak-anak.
Toko-toko Buku dan Perpustakaan
Selama masa kejayaan Dinasti Abbasiyah ,
toko-toko buku berkembang dengan pesat seiring dengan pesatnya perkembangan
ilmu pengetahuan. Pada mulanya toko-toko kitab tersebut berfungsi sebagai
tempat berjual beli kitab-kitab yang telah ditulis dalam berbagai ilmu pemgetahuan
yang berkembang pada masa itu. mereka membeli dari para penulisnya kemudian
menjualnya kepada siapa yang berminat untuk mempelajarinya. Pemilik toko buku
biasanya berfungsi sebagai tun rumah dan kadang-kadang sebagi pemimpin
lingkaran studi tersebut. Ini semua menunjukan bahwa betapa antusias umat islam
masa itu dalam menuntut ilmu.[25]
Salah satu
ciri penting pada masa Dinasti Abbasiyah adalah tumbuh dan berkembangnya dengan
pesat perpustakaan-perpustakaan baik perpustakaan yang sifatnya umum didirikan
oleh pemerintah, maupun perpustakaan yang sifatnya khusus didirikan oleh para
ulama atau para sarjana. Bait Al Hikmah adalah perpustakaan yang didirikan oleh
Harun Ar-Rasyid dan berkembang pesat pada masa Al-Ma’mun, merupakan salah satu
contoh dari perpustakaan dunia Islam yang lengkap, yang berisi ilmu agama dan
bahasa arab. Di dalamnya terdapat bermacam-macam buku ilmu pengetahuan yang
berkembang pada masa itu serta berbagai buku terjemahan dari bahasa yunani,
Persia, India, Qibti dan Aramy.[26] Perpustakaan dikatakan sebagai lembaga
pendidikan karena sebagaimana diketahui, bahwa pada masa itu, buku-buku sangat
mahal harganya, ditulis dengan tangan, sehingga hanya orang-orang kaya saja
yang bisa memiliki secara pribadi. Oleh karena itu, bagi masyarakat umum
pencinta ilmu, tentu memanfaatkan perpustakaan ini sebagai sarana memperoleh
ilmu pengetahuan, dan untuk selanjunya di kembangkan.
Di samping toko buku, perpustakaan
juga memiliki peranan penting dalam kegiatan transmisi keilmuan Islam.
Penguasa-penguasa biasanya mendirikan perpustakaan umum, sedangkan perpustakaan
pribadi biasanya dibangun oleh orang-orang kaya saja atau di istana raja-raja.
Rumah Sakit
Rumah sakit
pada zaman klasik bukan saja berfungsi sebagai tempat merawat dan mengobati
orang-orang sakit, tetapi juga mendidik tenaga-tenaga yang berhubungan dengan
perawatan dan pengobatan. Pada masa itu, penelitian dan percobaan dalam bidang
kedokteran dan obat-obatan selalu dilaksanakan, sehingga ilmu kedokteran dan
obat-obatan berkembang cukup pesat.
Rumah sakit
juga merupakan tempat praktkum sekolah kedokteran yang didirikan di luar rumah
sakit, ada juga sekolah kedokteran yang bersatu dengan rumah sakit , dengan
demikian rumah sakit berfungsi juga sebagai lembaga pendidikan.[27]
Badiah (Padang
Pasir, Dusun Tempat Tinggal Badwi)
Semenjak
berkembang islam secara luas, bahasa Arab banyak digunakan sebagai bahasa
pengantar oleh bangsa-baangsa di luar Arab yang beragama Islam. Namun bahasa
Arab disitu cenderung kehilangan keaslian dan kemurniannya, karena mereka
kurang fasih melafazkannya dan kurang memahami kaidah-kaidah bahsa arab,
sehingga bahasa Arab menjadi bahsa Arab menjadi bahasa pasaran. Namun tidak
demikian halnya di Badiah-badiah. Mereka tetap memperhatikan keaslian
dan kemurnian bahasa Arab. Dengan demikian, badiah-badiiah ini merupakan
sumber bahasa Arab yang asli dan murni. Di masa klasik, badiah-badiah menjadi
pusat untuk pelajaran bahasa Arab yang asli dan murni, sehingga banyak
anak-anak khalifah,ulama-ulama, dan para ahli ilmu pengetahuan pergi ke badiah-badiah
dalam rangka mempelajari bahasa dan kesusatraan Arab. Dengan begitu, badiah-badiah
telah berfungsi sebagai lembaga pendidikan.[28]
C.
PENUTUP
Berdasarkan pembahasan di atas maka penulis menyederhanakan dan
membuat kesimpulan tentang
lembaga-lembaga pendidikan Islam pra madrasah sebagai tindakan penyederhanaan
konsep agar mudah dipahami dan dimengerti tentang pertumbuhan dan perkembangan
lembaga pendidikan era klasik pra madrasah ini adalah sebagai berikut: (a) Suffah
(b) Kuttub/ Maktab (c) halaqah, (d) majlis, yang ada 7 macam
majlis sebagai berikut: Majlis al-Hadits, Majlis At-Tadris,
Majlis al-Munazharoh, Majlis al Muzakaroh, Majlis al-Syu’ara, Majlis al-Adab
dan Majelis al-Fatwa dan Majlis al-Nazar.(e) Masjid (f) khan (g) Ribath
(h) Rumah Ulama (i) toko buku dan perpustakaan (j) Rumah Sakit (k) Badiah
(padang pasir, Dusun tempat tinggal badwi).
Paper ini membahas tentang pendidikan islam di masa klasik yang terdapat
beberapa lembaga-lembaga pendidikan islam sebelum madrasah, terdapat juga suatu
kurikulum dan metode suatu system pendidikan yang klasik dan tradisional tapi mampu
mencetak para cendikiawan muslim yang terkemuka dari zaman dahulu hingga
sekarang . Dengan adanya
paper ini diharapkan bisa membantu dalam penelaahan suatu system pendidikan di
zaman modrn ini.
DAFTAR PUSTAKA
Asrohah, Harun, 1999. Sejarah pendidikan Islam, Jakarta:
Logo.
Engku, Iskandar dan Siti Zubaidah, 2014. Sejarah Pendidikan Islami,
Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Gazalba, Sidi, 1989. Mesjid Pusat
Ibadat Dan Kebudayaan Islam , Jakarta:
pustaka al-husna.
Hasbullah,1999. Sejarah Pendidikan Islam Di Indonesia,
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Hasbullah, 1999.
Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
Jakarta :PT. Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin,2004. Sejarah Pendidikan Islam, (pada periode
klasik dan pertengahan), Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Nata, Abuddin, 2011. Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta:
Kencana.
Prayitno, Irwan, 2003. Kepribadian
Dai: Bahan Panduan bagi Dai dan Murabbi, Bekasi:Pustaka Tarbiatuna.
Putra, Haidar, Daulay, 2009. Sejarah
Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group.
Ramayulis, 2011. Sejarah Pendidikan Islam, napaktilas Perubahan
Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi SAW sampai Ulama
Nusantara, Jakarta: Kalam Mulia.
Suwito, 2005. sejarah Sosial Pendidikan Islam Islam,
Jakarta: Kencana.
Yunus, Muhammad, 1992. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta:
Hidakarya Agung.
Zuhairini, 1997. Sejarah Pendidikan Islam. Jakarta: Bumi
Aksara.
[1] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam(pada periode klasik dan
pertengahan), (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2004), h. 29
[2] Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah
Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 6
[4]
Abuddin Nata, op. cit.,31
[5]
Zuhairini. Sejarah Pendidikan Islam. (Jakarta:
Bumi Aksara, 1997), h. 89
[6] Ibid., 91
[7] Abuddin Nata, op. it.,34.
[8] Harun Asrohah, Sejarah pendidikan Islam, (Jakarta:
Logo,1999), 49
[9] Irwan
Prayitno, Kepribadian
Dai: Bahan Panduan bagi Dai dan Murabbi, Pustaka Tarbiatuna,
Bekasi, 2003, hlm. 387.
[10]
Hasbullah, Sejarah
Pendidikan Islam di Indonesia: Lintasan Sejarah Pertumbuhan dan Perkembangan,
PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 1999, hlm. 26.
[11]Haidar
Putra Daulay, Sejarah
Pertumbuhan Pembaruan Pendidikan Islam di Indonesia, Kencana
Prenada Media Group, Jakarta, 2009, hlm. 69.
[12] Suwito, sejarah Sosial Pendidikan Islam
Islam,(Jakarta: Kencana, 2005), h.103.
[13] Ibid
[14]
Abuddin Nata, op. cit.,35-37
[15] Sidi Gazalba, mesjid pusat ibadat dan kebudayaan islam (
Jakarta: Pustaka Al-Husna 1989) cet.5 hal.118
[16] Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam,(Jakarta:
Kencana, 2011), h. 97.
[17] Suwito, op. cit.,104
[18] Hasbullah, Sejarah Pendidikan Islam Di
Indonesia,(Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1999), h.132
[19]
Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Sejarah
Pendidikan Islami, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2014), h. 42
[20]Abuddin Nata, op. cit.,39
[21]
Mahmud Yunus, Sejarah Pendidikan Islam,
(Jakarta: PT. Hidakarya Agung, 1992), cet. Ke-6, h. 95-96
[22]
Muhammad Yunus, Ibid., h. 9
[23]
Zuhairini, Op.Cit., h 95
[24]
Ramayulis, Sejarah Pendidikan Islam,
napaktilas Perubahan Konsep, Filsafat dan Metodologi Pendidikan Islam dari Era Nabi
SAW sampai Ulama Nusantara,(Jakarta: Kalam Mulia, 2011), h. 81
[25]
Suwito, op. cit.,103
[26]
Zuhairini at.al. Op.Cit., h 98
[27]
Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Op.Cit.,
h 44
[28]
Iskandar Engku dan Siti Zubaidah, Op.Cit.,
h 45
Tidak ada komentar:
Posting Komentar