PENDIDIKAN ISLAM PASCA REFORMASI ANTARA PELUANG DAN
TANTANGAN
MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas
individu dalam Mata Kuliah‘Filsafat Pendidikan Islam
Disusun oleh :
Dede Fatchuroji
JURUSAN PAI / II
PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2016
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN.....................................................................................................
1
A.
Latar Belakang Masalah...........................................................................................
1
B.
Rumusan Masalah.....................................................................................................
2
C.
Tujuan Penulisan.......................................................................................................
2
BAB II PENDIDIKAN ISLAM PASCA REFORMASI ANTARA PELUANG DAN
TANTANGAN.........................................................................................................
3
A.
Pendidikan Islam Pada Pasca
Reformasi...................................................................
3
1.
pengertian pendidikan islam................................................................................
3
2.
perkembangan pendidikan islam pasca
reformasi...............................................
4
B.
peluang pendidikan islam pasca
reformasi...............................................................
10
C.
tantangan pendidikan islam pasca reformasi...........................................................
13
BAB III PENUTUP.............................................................................................................
14
A.
Kesimpulan..............................................................................................................
14
DAFTAR
PUSTAKA
BAB
I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan
strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan
oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang
bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku
bagi madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama. Setelah reformasi berjalan, maka yang muncul kemudian
adalah refleksi apa makna reformasi bagi pendidikan. Dan bagi kita yang
berkecimpung di lembaga pendidikan Islam, tentu bertanya sejauh mana tantangan
dan peluang pendidikan Islam setelah bergulirnya reformasi.
Pasca reformasi adalah menarik untuk melihat kembali
posisi pendidikan Islam dan memotret perkembangan lembaga pendidikan Islam. Sedikitnya
ada dua alasan untuk fokus terhadap eksistensi pendidikan Islam pasca
reformasi. Pertama, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan
Nasional memberikan ruang yang cukup luas bagi pengembangan institusi
pendidikan agama, khususnya Pendidikan Islam. Kedua, kondisi lembaga pendidikan
Islam di Indonesia yang sebaagian besar masih bersifat tradisional dan hanya
dipandang sebagai pendidikan kelas dua, menyebabkan lembaga pendidikan Islam
kalah bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya[1]
Menurut Azra selama kurun waktu lebih dari beberapa
dasawarsa sejak Indonesia bebas dari kolonialisme, dunia pendidikan Islam di
Indonesia dikatakan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap
kemajuan bangsa. Dan, bahkan pendidikan Islam di Indonesia belum mampu memberikan
tanggapan atau jawaban ketika dituntut perannya untuk mengatasi berbagai
persoalan moral dan mentalitas bangsa, khususnya umat Islam di Indonesia. Jujur
harus dikatakan, bahwa pendidikan Islam saat ini kelihatan sering terlambat
merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan
masyarakat sekarang dan masa mendatang.[2]
Merespon tantangan perubahan tersebut, maka menuruf
Malik Fadjar, pendidikan harus dikelola menurut manajemen modern dan futuristik
sebagai usaha yang mengantarkan peserta didik ke posisi-posisi tertentu di masa
depan. Yaitu, suatu manajemen yang berpretensi membangun manusia
profesional-intelektual dan skilled dalam hal bagaimana mereka mampu bergaul di
tengah-tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif.[3]
Berdasarkan latar belakang dan butiran-butiran
pemikiran tokoh yang penulis sebutkan, maka makalah ini akan membahas pendidikan
islam pasca reformasi antara peluang dan tantangan.
B.
Rumusan Masalah
1. Bagaimana pendidkan islam pada pasca reformasi?
2. Bagaimana peluang pendidikan islam pasca reformasi?
3. Bagaimana tantangan pendidikan
islam pasca reformasi?
C.
Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui bagaimana pendidkan islam pada pasca reformasi
2. Untuk mengetahui bagaimana peluang pendidikan islam pasca reformasi
3. Untuk mengetahui bagaimana tantangan pendidikan islam pasca reformas
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM PASCA REFORMASI ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN
A.
Pendidikan Islam Pasca Reformasi
1.
Pengertian Pendidikan Islam
Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai
tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak
tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan.
Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam
penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada
pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu
dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam.
Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan
untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada
Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi,
yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks
ini terciptanya insan kamil setelah proses pendidikan
berakhir.[4]
Muhamad Daud Ali berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar
yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau
memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat.[5]
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan
Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang
seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan
eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada
ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia
seutuhnya “Insan Kamil”, setelah proses pendidikan berakhir.
Dalam artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan
manusia yang memilki kepribadian serta berakhlakul karimah “Akhlak Mulia”
sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.
Maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan
kader-kader khalifah, sehingga secara fungsional keberadaannya
menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan
lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang
berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang
meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif.
2. Perkembangan
Pendidikan Islam Pasca Reformasi
Sejalan dengan adanya berbagai perbaikan politik tersebut di
atas, telah menimbulkan keadaan pendidikan islam era reformasi
keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena
dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan islam era reformasi, kebijakan itu
antara lain:
Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian
dari System pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003
tentang system pendidikan nasional. Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989
hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional,
maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, ma’had Ali,
Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system
pendidikan nasional.[6] Dengan
masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis
Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan
fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan
diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan
peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan
Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan
Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga
tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah
Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini
misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan islam 20% dari
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji
Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa
kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media
pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang
bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan
adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami
pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan
keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.
Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib
memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan
hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di
lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional,
melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di
bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah
Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen
pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini,
pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI
harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf
nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung
di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg
bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakn sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri
maupun Swasta, baik umum maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah
naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah
Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu
tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah
sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor
74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran
biayanya sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut,
maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi
kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis
kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun
2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai
mata pelajaran (subject matter)`sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum
1995,[7] melainkan
juga dituntut memilki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut,
seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan,
memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik
diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat,
kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah
yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat
merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan
pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris)
melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid
(student centris) melalui kegiatan learnig (belajar)
dan research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif,
inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini
metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah,
seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan
proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis
dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek
pendidikan melainkan juga sebagai subjek pendidikan yang berhak
mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan.[8]
Kedelapan, penerapan manajemen yang
berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan (to give good
service and satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa
pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut
menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang
unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi.
Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul,
dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan
kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah
lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang meliputi :
1.
Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
2.
Standar Isi (kurikulum)
3.
Standar Mutu Pendidikan
4.
Standar Proses Pendidikan
5.
Standar Pendidik dan tenaga
kependidikan
6.
Standar Pengelolaan
7.
Standar Pembiayaan
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat
madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini,
maka madrasah menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah,
Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang
terdapat pada sekolah umu seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut,
maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama
masyarakat.
Seiring
dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional telah
disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama
para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan
komponen-komponen pendidikan telah bangyak bermunculan di lembaga
pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi
peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya.
Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada
para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program
Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan
(KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang
lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar
Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola
pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program studi yang dilaksanakan.
Kini
bangsa indonesia hidup di era globalisasi dan reformasi yang keadaanya jauh
berbeda dengan keadaan dimasa lampau. Berbagai perubahan yang terjadi di era
globalisasi dan era reformasi tersebut telah
mempengaruhi pada seluruh komponen pendidikan. Berbagai komponen pendidikan
telah memiliki paradigma baru yang keadaanya berbeda dengan paradigma
pendidikan di masa lalu. Dalam keadaan demikian, lembaga pendidikan mulai dari
tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang ingin tetap eksis dan memiliki
konstribusi bagi penyiapan masa depan bangsa, mau tidak mau harus mengikuti
perkembangan berbagai perubahan dan paradigma baru pendidikan tersebut.[10]
Menurut
Tilaar reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan,
menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan
dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu
perombakan yang menyeluruh dari suatu sistem pendidikan kehidupan dalam aspek
politik, ekonomik, hukum, sosial, dan tentu saja bisa diterapkan dalam bidang pendidikan.[11]
Di dalam program pembangunan nasional (Propenas)
1999-2004, juga di akui bahwa manajemen pendidikan nasional selama ini secara
holistik sangat sentralistis sehingga menutup dinamika demokratisasi
pendidikan. Di akui maupun tidak, manajemen pendidikan yang sentralistis akan
menyebabkan dan melahirkan kebijakan seragam yang tidak mampu dan tidak dapat
mewadahi segala perbedaan, keberbedaan, atau heterogenitas kepentingan setiap
daerah, sekolah, dan peserta didik. Ini kemudian mematikan partisipasi
masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan
kebocoran alokasi anggaran pendidikan.[12]
Pendidikan adalah salah satu bidang yang diotonomkan
dari sekian banyak bidang lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan
menuntut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari
sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan
inisiatif dan kretivisme serta inovasi perorangan maupun masyarakat. Di
tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia sangat perlu pula
dihargai adanya sisi perbedaan yang tidak mesti seragam, karena keberadaan
masyarakat majemuk itu menuntut adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk
tumbuhnya kreativitas dan inovasi.[13]
B. Peluang Pendidikan
Islam
Peluang Indonesia untuk dapat bangkit dan bersaing
dengan Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebenarnya cukup besar. Hal
tersebut terutama di sebabkan oleh kondisi dan kecenderungan global yang di
sebabkan oleh majunya teknologi informatika membuat motifasi dan keinginan umum
manusia untuk terus maju dan bergerak kedepan menjadi sesuatu yang besar. Di
samping itu, kemajuan dan perkembangan dunia bisnis dan bidang-bidang usaha
lain yang persaingannya begitu ketat menjadi pemicu sebagian orang untuk mendapatkan
peluang.[14]
Di dalam pembabakan perkembangan pendidikan di
Indonesia pasca reformasi, dapat dipandang sebagai perubahan yang menggambarkan
bahwa Indonesia sedang memasuki era baru yang fundamental. Ditandai dengan
seperangkat Undang-Undang, khususnya yang berkaitan tentang desentralisasi
pendidikan. Sikap kritis dan ketidakpuasan masyarakat akademis terhadap
berbagai dampak negatif sistem sentralisasi pendidikan yang diterapkan Orde
Baru, mendorong perlunya perubahan paradigma dalam pengelolaan pendidikan,
mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Terdapat berbagai aspek mendasar terkait perubahan
paradigma pendidikan dari orde baru menuju era reformasi. Paradigma lama atau
pendidikan yang dicanangkan pada masa orde baru cenderung sentralistik dan top
down. Sementara orientasi pengembangan pendidikannya bersifat parsial,
karena didesain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan
keamanan, serta teknologi perakitan. Sedangkan paradigma pendidikan pada era
reformasi dijalankan secara desentralisasi, holistik dan bersifat bottom up.
Artinya, pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam
kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, kemanusiaan, dan agama.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka menata
pendidikan adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan
Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, sebagai pengganti Undang-Undang
Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989. Langkah tersebut penting dilakukan karena
kebijakan yang lama sudah tidak sesuai dengan semangat desentralisasi. Hadirnya
Undang-Undang otonomi daerah, maka pendidikan menjadi sektor pembangunan yang
didesentralisasikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menurut Yoyon
mencakup beberapa aspek substantif yang meliputi teknis edukatif, personel, finansial,
sarana dan prasarana, administratif, dan aspek fungsi manajemen
sepertiPlanning, Organizing, Actuating, dan Controlling (POAC).[15]
Kedua aspek tersebut, menurut Yoyon, diarahkan pada paradigma pendidikan di
Indonesia melalui Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (Program School Based
Management).
Desentralisasi pendidikan diterapkan untuk pemerataan
dan peningkatan mutu pendidikan. Setidaknya didasarkan atas tiga poin positif
atas kebijakan desentralisasi pendidikan, meliputi: Pertama, terwujudnya
pemerataan kesempatan pendidikan dengan tercapainya program wajib belajar 9
tahun.Kedua, mendorong lahirnya generasi muda yang terampil dalam mengembangkan
potensi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan setempat sebagai perwujudan
dari pluralitas antardaerah. Dalam hal ini juga disesuaikan dengan kurikulum
dan skill yang dimiliki oleh peserta didik di masing-masing wilayah.Ketiga,
meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan dan didorong
dengan sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih efektif, efesien dan ramah
lingkungan.[16]
Karena, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama guna mencapai tujuan dari
pendidikan itu sendiri.
Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan bagi umat
Islam, agar dapat memahami secara benar ajaran Islam sebagai agama yang
sempurna, juga harus dipelajari secara integral agar berguna bagi kehidupan.
Agar ajaran Islam dapat dipelajari secara efektif dan efisien, maka perlu
dikembangkan kurikulum pendidikan agama Islam sesuai dengan perkembangan dan
tuntutan zaman. Misalnya fenomena globalisasi dewasa ini, ternyata mampu membuka
batas-batas teritorial berbangsa dan dalam dimensi yang beragam terkait
kehidupan umat manusia. Berangkat dari berbagai konstelasi dunia, mengharuskan
adanya ketentuan legal-formal yang menuntut perubahan dan penyempurnaan dalam
pendidikan Islam. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan perlu dipertajam
dengan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi. Pembaharuan dalam hal ini
menjadi penting agar tidak diklaim sebagai pendidikan yang ketinggalan zaman.[17]
Mengenai perkembangan pendidikan Islam, terlihat
dengan terbitnya Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003[18]
dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan
pendidikan keagamaan. Dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam semakin
diakui dalam tatanan pendidikan nasional. Namun, meski mendapat kepercayaan
yang lebih, namun kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia sebagian besar
masih bersifat tradisional. Kenyataan inilah yang harus menjadi perhatian dan
menjadi refleksi secara kolektif, sehingga dapat mengurangi dampak yang
nantinya akan terjadi.
Tindakan pemerintah melakukan reorientasi pendidikan
cukup strategis bagi perbaikan mutu pendidikan dasar yang secara legal formal
memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor
32 dan 33 tahun 2004 tentang otonomi daerah menuntut pembangunan pendidikan
dioptimalkan di daerah. Undang-Undang tersebut merupakan pengganti dari
Undang-Undang otonomi daerah sebelumnya. Sejalan dengan desentralisasi
pendidikan, maka daerah diberi kesempatan membuat grand design yang secara
kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya. Itulah yang membedakan antara
pendidikan yang dijalankan orde baru dengan reformasi.
Peluang pendidikan Islam dimulai dengan terbitnya pp No 55 Tahun
2007 dan UU otonomi daerah.
C. Tantangan Pendidikan
Islam Pasca Reformasi
Tantangan
internal pendidikan Islam adaah:
1.
Implementasi
dari pp No 55 tahun 2007 di lapangan hanya sebatas peraturan tertulis.
2.
Pendidikan
tersentral kepada Departemen Agama
3.
Pasca reformasi
bermunculan lembaga bercri khas islam seperti SDIT, SMPIT, SMAIT.
4.
Kurikulum
pendidikan Islam masih bersifat dikotomik antar umum dan agama.
Tantangan eksternal pendidikan islam saat ini jauh
berbeda dengan tantangan pendidikan islam sebagaimana yang terdapat pada zaman
dahulu. Tantangan pendidikan islam di zaman sekarang selain menghadapi
pertarungan ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi berbagai
kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulence) atau
stunami. Menurut Daniel bell di era globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai
oleh kecenderungan- kecenderungan sebagai berikut.
Pertama, kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya
persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Karena menurut mereka dunia pendidikan
juga termasuk yang diperdagangkan, maka dunia pendidikan saat ini juga
dihadapkan pada logika bisnis. Penyelenggaraan pendidikan tidak hanya ditujukan
untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang
soleh melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang economic minded,
dan penyelenggarannya untuk mendapatkan keuntungan material.
Kedua, kecenderungan fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya
peningkatan dan harapan dari masyarakat.Mereka semakin membutuhkan perlakuan
yang adil dan demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat tepat dan
propesional.
Ketiga, kecenderungan penggunaan teknologi canggih khususnya teknologi
komunikasi dan informasi (TKI) seperti komputer. Teknologi canggih ini telah
masuk dalam dunia pendidikan seperti dalam pelayanan administrasi pendidikan,
keuangan, proses belajar mengajar. Melalaui TKI ini para peserta didik atau
mahasiswa dapat mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh. Sementara itu peran
dan fungsi pendidik
juga bergeser menjadi semacam fasilitator,
katalisator, motivator dan dinamisator.
Keempat, kecenderungan munculnya
penjajahan baru dalam bidang kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya pola
pikir masyarakat pengguna pendidikan yaitu dari yang semula mereka belajar
dalam rangka meningkatlan kemampuan intlektual, moral, fisik dan psikis berubah
menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar.[19]
Dalam konteks kebudayaan yang lain berapa dekade
terakhir kita menyaksikan munculnya budaya etnik sejalan dengan tumbuhnya
Negara bangsa. Menurut Tilaar pada abad ke 20 proses budaya ini menuju kepada
suatu budaya nasional yang semaki terintegrasi. Pada abad ke 21 lahirlah suatu
budaya dunia yang baru, suatu budaya yang mengidealisasikan budaya global
didalam bentuk bergabagi budaya dominan seperti yang didorong oleh gaya hidup
global dan ditunjang oleh hubungan komunikasi yang semakin cepat dimana setiap
orang bisa berkomunikasi dengan siapa saja kapan saja dimana saja.[20]
Kelima, Akan terjadi perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat
industri. Tofler mengatakan bahwa perubahan tersebut akan menimbulan goncangan.
Nurcholis Majid mengatakan bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan defrivasi
relatif, dislokasi, disorientasi, dan negativisme.
Deprivasi relatif yaitu perasaan teringkari, atau
tertinggal dari orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak
dapat mengikuti perubahan dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan
itu. Dislokasi maksudnya perasaan tidak punya tempat dalam tatanan
sosial yang sedang berkembang. Disorientasi ialah perasaan tidak mempunyai
pegangan hidup akibat dari apa yang ada selama ini tidak dapat lagi dipertahankan
karena teras tidak cocok dan kehilangan identitas. Sedangkan yang dimaksud
dengan negativisme adalah perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba
negatif kepada susunan yang mapan,
dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, dan sebagainya.[21]
Juga perubahan sistem nilai. Globalisasi akan membawa
dampak pada pergeseran nilai. Pergeseran nilai yang dimaksud hususnya adalah
nilai-nilai keagamaan tidak terkecuali nilai-nilai agama islam. Perubahan
sistem nilai yang demikian tentunya menuntut peran agama yang lebih dominan
dalam kehidupan manusia. Dalam konteks modernsasi, peran agama seringkali
disepakati sebagai alat penyeimbang bagi pola kehidupan materialistis.
Karenanya tuntuttan penjabaran agama berkenaan dengan kondisi kehidupan dunia
hendaknya lebih kontekstual dan relevan. Tampaknya globalisasi sebagai produk
modernisasi telah menjadikan sebagian manusia kehilangan,
atau setidaknya menggoyahkan keimanan.[22]
Pendidikan islam mau tidak mau masuk dalam perangkat
arus global dan mengalami turbulensi ini. Dalam analisisnya
fenomena turbulensi diatas dikaitkan dengan pesatnya arus
global akibat modernisasi industrialisasi media masa, sarana komunikasi, dan
telekomunikasi yang canggih, sedemikian rupa sehingga menjadi dunia ini seakan
dilipat dalam bentuk mini. Global berarti mendunia. Jadi turbulensiarus
global dimaksdukan sebagai pergolakan yang ditimbulkan akibat moderniasi
disegala bidang yang telah mendunia. Pengaruh arus global ini amat luas dan
tidak terelakkan pula imbasnya mengenai pendidikan islam.
Bagi pendidikan islam turbulensi arus
global bisa menimbulakan gejala kontramoralitas, yakni pertentangan dua sisi
moral secara diametral. Karena globalisasi langsung atau tidak, dapat membawa
paradox bagi praktik pendidikan islam, seperti terjadinya kontra moralitas
antara apa yang diidealkan dalam pendidikan islam dengan realitas di
lapangan, maka gerakan tajdid dalam pendidikan islam hendaknya
melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat lebih dulu, sedemikian hingga
ajaran islam yang hendak dididikkan itu dapat landing dan kontekstual.[23]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pendidikan islam menurut istilah adalah kesepakatan yang dibuat
para ahli dalam bidangnya masing-masing terhadap pengertian pendidikan islam.
Dengan demikian, dalam istilah tersebut terdapat misi, visi, tujuan yang di
inginkan oleh yang merumuskannya sesuai dengan latar belakang pendidikan,
keahlian, kecenderungan, kepentingan dan lain sebagainya.
Tantangan pendidikan islam saat ini jauh berbeda dengan
tantangan pendidikan islam sebagaimana yang terdapat pada zaman dahulu.
Tantangan pendidikan islam dizaman sekarang selain menghadapi pertarungan
ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tak
ubahnya seperti badai besar (turbulence) atau sunami. Kecenderungan –
kecenderungan terrsebut antara lain integrasi ekonomi, fragmentasi politik,
tekhnologi dan kebudayaan. Namun selain menghadapi berbagai tantangan yang ada,
pendidikan islam pasca reformasi ini juga memiliki
peluang. Peluang tersebut adalah semakin dituntunnya pendidikan untuk tampil
sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, yaitu manusia
yang mempunyai wawasan, kemampuan dan keterampilan serta kepribadian yang
sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat.
DAFTAR PUSTAKA
Arif,
Armai, 2002, Pengantar Ilmu dan
Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers.
Assegaf, Rachman, 2011, Filsafat Pendidikan Islam
Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif,
Jakarta : Rajawali Pers.
Astuti, Siti, Irene,
Dwiningrum, 2011. Desentralisasi dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pendidikan: Suatu Kajian Teoretis dan Empirik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, A. 2002. Pendidikan Islam:
Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakar, U.A. dan Surohim. 2005. Fungsi
Ganda Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS.
Yogyakarta: Safiria Insani Pres.
Bahtiar, Yoyon, Irianto, 2011.
Kebijakan
Pembaharuan Pendidikan: Konsep, Teori, dan Model, Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,
Barizi, A. (ed). 2005. Holistika
Pemikiran Pendidikan Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press.
Daud, Muhamad, Ali dan Habiba Daud. 1995, Lembaga-lembaga Islam di
Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Haidar, Putra, 2004, pendidikan
Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, Jakarta, Kencana.
Idi, Abdullah dan Toto
Suharto, 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta :Tiara
Wacana.
M.Chan, Sam dan Tuti T. Sam, 2011. Kebijakan
Pendidikan Era Otonomi Daerah, Jakarta : Raja
Grafindo Persada.
Nata, Abuddin, 2009,
Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta
: Kencana Prenada media.
Nata, Abuddin, Kapita Selekta
Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan islam, Jakarta :
Raja Grafindo Persada
Rahardjo, 2010, Mudjia Pemikiran Kebijakan pendidikan
Kontemporer, Malang : UIN Maliki Press.
Rifa’i, Muhammad, 2011, Sejarah
Pendiidkan Nasional: dari masa klasik hingga modern, Jakarta, Ar-Ruzz
Media.
Tafsir, Ahmad, 2012, Filsafat
Pendidikan Islami Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan
Manusia, Bandung :Remaja Rosdakarya.
Umiarso dan Haris Fathoni
Makmur, , 2010. Pendidikan Islam dan Krisis
Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, Yogyakarta: Ircisod.
Zainnuddin, 2008, Reformasi
Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.
[1]
Bakar,
U.A. dan Surohim. (2005). Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Respon
Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS (Yogyakarta: Safiria Insani
Pres, 2005), h. 110.
[2]
Azyumardi
Azra. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju
Millenium Baru. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002), h. 85
[3] Barizi. Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik
Fadjar. (Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press. 2005), h. 77.
[4] Armai
Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat
Pers, 2002), h. 16.
[5]
Muhamad
Daud Ali dan Habiba Daud. Lembaga-lembaga
Islam di Indonesia(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137
[6]
Perubahan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989
menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
yang terdapat kekurangan atau kelemahan pada UU No 2 Tahun 1989, yaitu:
(1) Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat sentralistik; (2)belum
menghasilkan lulusan pendidikan yang bermutu dan bersaing dengan negara lain;
(3)belum mengemban misi pendidikan untuk semua; (4) belum dapat mendukung
lahirnya peserta didik yang berakhlak mulia; (5)belum memperhatikan keadaan
masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikulttural; (6)belum dilaksakan
secara profesional.
[7]
Pada kurikulum tahun 1995 menekankan pada
punguasaan materi pelajaran sebanyak-banyaknya tanpa disertai dengan
keterampilan proses memahami dan mempraktekkan materi pelajaran tersebut.
Kurikulum yang demikian menyebabkan lahirnya para lulusan yang tidak memiliki
kompetensi yang diperlukan untuk membangun manusia yang aktif dan kreatif.
[8]
Agar pendekatan dapat diwujudkan, maka
perlu adanya perubahan metode belajar mengajar pada pendekatan kita, yaitu: (1)
mengubah cara belajar dari model warisan menjadi memecahkan masalah; (2)dari
hafalan ke dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari strategi menguasai
materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat.
[9]
Lihat Peraturan Pemerintah Republik
Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005,
Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).
[10]
Abuddin Nata,Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta
: Kencana Prenada media, 2009, hal. 15.
[12]
Muhammad
Rifa’i, Sejarah Pendiidkan Nasional: dari masa klasik hingga modern,( Jakarta,
Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 263.
[13]
Putra
haidar, pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di
Indonesia,( Jakarta, Kencana, 2004), hal 64
[14]
Sam
M.Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan Era Otonomi
Daerah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 146.
[15]
Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaharuan
Pendidikan: Konsep, Teori, dan Model, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 158-160.
[16]
Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi
Masyarakat dalam Pendidikan: Suatu Kajian Teoretis dan Empirik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011),
hlm. 8-10.
[17]
Umiarso dan Haris Fathoni Makmur, Pendidikan Islam dan Krisis
Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, (Yogyakarta: Ircisod, 2010), hlm. 177.
[18] Dalam Pasal 30 ayat (3), dijelaskan
bahwa “pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal,
nonformal, dan informal”. Selanjutnya, pada pasal 37, secara berturut-turut
dinyatakan bahwa “kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat
pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa”. Sementara untuk
pendidikan dasar dan menengah masih ditambah dengan materi lainnya.
[19]
Abuddin
Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang
Pendidikan islam, Jakarta : Raja Grafindo Persada hal. 13
– 15.
[20]
Mudjia
Rahardjo, Pemikiran Kebijakan pendidikan Kontemporer, Malang : UIN
Maliki Press, 2010, hal. 37 – 38.
[21]
Ahmad
tafsir, Filsafat Pendidikan Islami Integrasi Jasmani,
Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung :Remaja Rosdakarya, 2012,
hal. 192 – 193.
[22]
Abdullah
Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta
:Tiara Wacana, 2006. hal. 107.
[23]
Rachman
Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari
Berbasis Integratif Interkonektif, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal. 327
– 328.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar