Jumat, 21 Oktober 2016

makalah pendidikan islam pasca reformasi peluang dan tantangan


PENDIDIKAN ISLAM PASCA REFORMASI ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN

MAKALAH
Diajukan untuk memenuhi salah satu tugas individu dalam Mata Kuliah‘Filsafat Pendidikan Islam

75
 







Disusun oleh :
Dede Fatchuroji



JURUSAN PAI / II

PROGRAM PASCA SARJANA
INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI (IAIN)
SULTAN MAULANA HASANUDDIN BANTEN
2016





DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN..................................................................................................... 1
A.      Latar Belakang Masalah........................................................................................... 1
B.     Rumusan Masalah..................................................................................................... 2
C.     Tujuan Penulisan....................................................................................................... 2

BAB II PENDIDIKAN ISLAM PASCA REFORMASI ANTARA PELUANG DAN
TANTANGAN......................................................................................................... 3
A.     Pendidikan Islam Pada Pasca Reformasi................................................................... 3
1.      pengertian pendidikan islam................................................................................ 3
2.      perkembangan pendidikan islam pasca reformasi............................................... 4
B.     peluang pendidikan islam pasca reformasi............................................................... 10
C.     tantangan  pendidikan islam pasca reformasi........................................................... 13

BAB III PENUTUP............................................................................................................. 14
A.     Kesimpulan.............................................................................................................. 14
DAFTAR PUSTAKA




BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang Masalah
Pendidikan era reformasi telah melahirkan sejumlah kebijakan strategis dalam bidang pendidikan yang pengaruhnya langsung dapat dirasakan oleh masyarakat secara luas dan menyeluruh, bukan hanya bagi sekolah umum yang bernaung dibawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga berlaku bagi madrasah dan Perguruan Tinggi yang bernaung di bawah Kementerian Agama. Setelah reformasi berjalan, maka yang muncul kemudian adalah refleksi apa makna reformasi bagi pendidikan. Dan bagi kita yang berkecimpung di lembaga pendidikan Islam, tentu bertanya sejauh mana tantangan dan peluang pendidikan Islam setelah bergulirnya reformasi.
Pasca reformasi adalah menarik untuk melihat kembali posisi pendidikan Islam dan memotret perkembangan lembaga pendidikan Islam. Sedikitnya ada dua alasan untuk fokus terhadap eksistensi pendidikan Islam pasca reformasi. Pertama, Undang-Undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem pendidikan Nasional memberikan ruang yang cukup luas bagi pengembangan institusi pendidikan agama, khususnya Pendidikan Islam. Kedua, kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia yang sebaagian besar masih bersifat tradisional dan hanya dipandang sebagai pendidikan kelas dua, menyebabkan lembaga pendidikan Islam kalah bersaing dengan lembaga pendidikan lainnya[1]
Menurut Azra selama kurun waktu lebih dari beberapa dasawarsa sejak Indonesia bebas dari kolonialisme, dunia pendidikan Islam di Indonesia dikatakan belum memberikan kontribusi yang signifikan terhadap kemajuan bangsa. Dan, bahkan pendidikan Islam di Indonesia belum mampu memberikan tanggapan atau jawaban ketika dituntut perannya untuk mengatasi berbagai persoalan moral dan mentalitas bangsa, khususnya umat Islam di Indonesia. Jujur harus dikatakan, bahwa pendidikan Islam saat ini kelihatan sering terlambat merumuskan diri untuk merespon perubahan dan kecenderungan perkembangan masyarakat sekarang dan masa mendatang.[2]
Merespon tantangan perubahan tersebut, maka menuruf Malik Fadjar, pendidikan harus dikelola menurut manajemen modern dan futuristik sebagai usaha yang mengantarkan peserta didik ke posisi-posisi tertentu di masa depan. Yaitu, suatu manajemen yang berpretensi membangun manusia profesional-intelektual dan skilled dalam hal bagaimana mereka mampu bergaul di tengah-tengah komunitas global secara dinamis, kreatif, dan inovatif.[3]
Berdasarkan latar belakang dan butiran-butiran pemikiran tokoh yang penulis sebutkan, maka makalah ini akan membahas pendidikan islam pasca reformasi antara peluang dan tantangan.
B.     Rumusan Masalah
1.      Bagaimana pendidkan islam pada pasca reformasi?
2.      Bagaimana peluang pendidikan islam pasca reformasi?
3.      Bagaimana tantangan  pendidikan islam pasca reformasi?
C.    Tujuan Penulisan
1.      Untuk mengetahui bagaimana pendidkan islam pada pasca reformasi
2.      Untuk mengetahui bagaimana peluang pendidikan islam pasca reformasi
3.      Untuk mengetahui bagaimana tantangan  pendidikan islam pasca reformas
BAB II
PENDIDIKAN ISLAM PASCA REFORMASI ANTARA PELUANG DAN TANTANGAN

A.    Pendidikan Islam Pasca Reformasi
1.      Pengertian Pendidikan Islam
Berangkat dari pemikiran bahwa suatu usaha yang tidak mempunyai tujuan tidak akan mempunyai arti apa-apa. Ibarat seseorang yang bepergian tak tentuh arah maka hasilnya adalah tak lebih dari pengalaman selama perjalanan. Pada dasarnya pendidikan merupakan usaha yang dilakukan sehingga dalam penerapannya ia tak kehilangan arah dan pijakan. Namun sebelum masuk pada pembahasan mengenai fungsi dan tujuan Pendidikan Islam terlebih dahulu perlu dijelaskan apa pengertian Pendidikan Islam.
Pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya: beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah dimuka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan Sunnah, maka tujuan dalam konteks ini terciptanya insan kamil setelah proses pendidikan berakhir.[4]
Muhamad Daud Ali berpendapat bahwa pendidikan adalah usaha sadar yang dilakukan oleh manusia untuk mengembangkan potensi manusia lain atau memindahkan nilai-nilai yang dimilikinya kepada orang lain dalam masyarakat.[5]
Adapun pendapat lain mengatakan bahwa pengertian pendidikan Islam yaitu sebuah proses yang dilakukan untuk menciptakan manusia-manusia yang seutuhnya : beriman dan bertaqwa kepada Tuhan serta mampu mewujudkan eksistensinya sebagai khalifah Allah di muka bumi, yang berdasarkan kepada ajaran Al-qur’an dan As-sunnah, maka tujuan dan konteks ini terciptanya manusia seutuhnya “Insan Kamil”, setelah proses pendidikan berakhir.
Dalam artian bahwa pendidikan Islam adalah proses penciptaan manusia yang memilki kepribadian serta berakhlakul karimah “Akhlak Mulia” sebagai makhluk pengemban amanah di bumi.
Maka Pendidikan Islam adalah pendidikan yang mampu menyiapkan kader-kader khalifah, sehingga secara fungsional keberadaannya menjadi pemeran utama terwujudnya tatanan dunia yang rahmatan lil–‘alamin. Ditambahkan lagi bahwa pendidikan Islam adalah pendidikan yang berwawasan semesta, berwawasan kehidupan yang utuh dan multi dimensional, yang meliputi wawasan tentang Tuhan, manusia dan alam secara integratif.
2.      Perkembangan Pendidikan Islam Pasca Reformasi
Sejalan dengan adanya berbagai perbaikan politik tersebut di atas, telah menimbulkan keadaan pendidikan islam era reformasi  keadaannya jauh lebih baik dari keadaan pemerintah era Orde Baru. Karena dibentuknya kebijakan-kebijakan pendidikan islam era reformasi, kebijakan itu antara lain:
Pertama, kebijakan tentang pemantapan pendidikan islam sebagai bagian dari System pendidikan nasional. Upaya ini dilakukan melalui penyempurnaan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang system pendidikan nasional. Jika pada Undang-Undang No 2 Tahun 1989 hanya menyebutkan madrasah saja yang masuk dalam system pendidikan nasional, maka pada Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 manyebutkan pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim termasuk dalam system pendidikan nasional.[6] Dengan masuknya pesantren, ma’had Ali, Roudhotul Athfal (Taman Kank-Kanak) dan Majlis Ta’lim ke dalam system pendidikan nasional ini, maka selain eksistensi dan fungsi pendidikan islam semakin diakui, juga menghilangkan kesan dikotomi dan diskriminasi. Sejalan dengan itu, maka berbagai perundang-undangan dan peraturan tentang standar nasional pendidikan tentang srtifikasi Guru dan Dosen, bukan hanya mengatur tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Nasional saja, melainkan juga tentang Standar Pendidikan, Sertifikasi Guru dan Dosen yang berada di bawah Kementerian Agama.
Kedua, kebijakan tentang peningkatan anggaran pendidikan. Kebijakan ini misalnya terlihat pada ditetapkannya anggaran pendidikan islam 20% dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang di dalamnya termasuk gaji Guru dan Dosen, biaya operasional pendidikan, pemberian beasisiwa bagi siswa kurang mampu, pengadaan buku gratis, infrastruktur, sarana prasarana, media pembelajaran, peningkatan sumber daya manusia bagi lembaga pendidikan yang bernaung di bawah Kementerian Agama dan Kementerian Pendidikan Nasional. Dengan adanya anggaran pendidikan yang cukup besar ini, pendidikan saat ini mengalami pertumbuhan, perkembangan, dan kemajuan yang signifikan dibandingkan dengan keadaan pendidikan sebelumnya, termasuk keadaan pendiidkan islam.
Ketiga, program wajib belajar 9 tahun, yaitu setiap anak Indonesia wajib memilki pendidikan minimal sampai 9 tahun. Program wajib belajar ini bukan hanya berlaku bagi anak-anak yang berlaku bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementeria Pendidikan Nasional, melainkan juga bagi anak-anak yang belajar di lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Agama.
Keempat, penyelenggaraan Sekolah Bertaraf Nasional (SBN), Sekolah Bertaraf Internasional (SBI), yaitu pendidikan yang seluruh komponen pendidikannya menggunakan standar nasional dan internasional. Dalam hal ini, pemerintah telah menetapkan, bagi sekolah yang akan ditetapkan menjadi SBI harus terlebih dahulu mencapai sekolah bertaraf SBN. Sekolah yang bertaraf nasional dan internasional ini bukan hanya terdapat pada sekolah yang bernaung di bawah Kementerian Pendidikan Nasional, melainkan juga pada sekolah yamg bernaung di bawah Kementerian Agama.
Kelima, kebijakn sertifikasi bagi semua Guru dan Dosen baik Negeri maupun Swasta, baik umum maupun Guru agama, baik Guru yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional maupun Guru yang berada di bawah Kementerian Pendidikan Agama. Program ini terkait erat dengan peningkatan mutu tenaga Guru dan Dosen sebagai tenaga pengajar yang profesional. Pemerintah sangat mendukung adanya program sertifikasi tersebut dengan mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 74 tahun 2005 tentang sertifikasi Guru dan Dosen, -juga mengalokasikan anggaran biayanya  sebesar 20% dari APBN. Melalui program sertifikasi tersebut, maka kompetensi akademik, kompetensi pedagogik (teaching skill), kompetensi kepribadian dan kompetensi sosial para Guru dan Dosen ditingkatkan.
Keenam, pengembangan kurikulum berbasis kompetensi (KBK/tahun 2004) dan kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP/tahun 2006). Melalui kurikulum ini para peserta didik tidak hanya dituntut menguasai mata pelajaran (subject matter)`sebagaimana yang ditekankan pada kurikulum 1995,[7] melainkan juga dituntut memilki pengalaman proses mendapatkan pengetahuan tersebut, seperti membaca buku, memahami, menyimpulkan, mengumpulkan data, mendiskusikan, memecahkan masalah dan menganalisis. Dengan cara demikian para peserta didik diharapkan akan memiliki rasa percaya diri, kemampuan mengemukakan pendapat, kritis, inovatif, kreatif dan mandiri. Peserta didik yang yang demikian itulah yang diharapkan akan dapat menjawab tantangan era globalisasi, serta dapat merebut berbagai peluang yang terdapat di masyarakat.
Ketujuh, pengembangan pendekatan pembelajaran yang tidak hanya terpusat pada Guru (teacher centris) melalui kegiatan teachimg, melainkan juga berpusat pada murid (student centris) melalui kegiatan learnig (belajar) dan research (meneliti) dalam suasana yang partisipatif, inovatif, aktif, kreatif, efektif, dan menyenangkan. Dengan pendekatan ini metode yang digunakan dalam kegiatan belajar mengajar bukan hanya ceramah, seperti diskusi, seminar, pemecahan masalah, penugasan dan penemuan. Pendekatan proses belajar mengajar ini juga harus didasarkan pada asas demokratis, humanis dan adil, dengan cara menjadikan peserta didik bukan hanya menjadi objek pendidikan melainkan  juga sebagai subjek pendidikan yang berhak mengajukan saran dan masukan tentang pendekatan dan metode pendidikan.[8]
Kedelapan, penerapan manajemen yang berorientasi pada pemberian pelayanan yang naik dan memuaskan (to give good service and satisfaction for all customers). Dengan pandangan bahwa pendidikan adalah sebuah komoditas yang diperdagangkan, agar komoditas tersebut menarik minat, maka komoditas tersebut harus diproduksi dengan kualitas yang unggul. Untuk itu seluruh komponen pendidikan harus dilakukan standarisasi. Standar tersebut harus dikerjakan oleh sumber daya manusia yang unggul, dilakukan perbaikan terus menerus, dan dilakukan pengembangan sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Berkaitan dengan ini, maka di zaman reformasi ini telah lahir Peraturan Pemerintah Nomor 19 tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan (SNP) yang meliputi :
1.      Standar Kompetensi Lulusan (SKL)
2.      Standar Isi (kurikulum)
3.       Standar Mutu Pendidikan
4.      Standar Proses Pendidikan
5.      Standar Pendidik dan tenaga kependidikan
6.      Standar Pengelolaan
7.      Standar Pembiayaan
8.      Standar Penilaian.[9]
Kesembilan, kebijakan mengubah sifat madrasah menjadi sekolah umum yang berciri khas keagamaan. Dengan ciri ini, maka madrasah menjadi sekolah umum plus. Karena di madrasah (Ibtidaiyah, Tsanawiyah dan Aliyah) ini, selain para siswa memperoleh pelajaran umum yang terdapat pada sekolah umu seperti SD, SMP, dan SMU. Dengan adanya kebijakan tersebut, maka tidaklah mustahil jika suatu saat madrasah akan menjadi pilihan utama masyarakat.
Seiring dengan lahirnya berbagai kebijakan pemerintah tentang pendidikan nasional telah disambut positif dan penuh optimisme oleh seluruh lapisan masyarakat, terutama para pengelola pendidikan. Berbagai inovasi dan kreatifitas dalam mengembangkan komponen-komponen pendidikan  telah bangyak bermunculan di lembaga pendidikan. Melalui dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) telah memberi peluang bagi masyarakat yang kurang mampu untuk menyekolahkan putra putrinya. Melalui program sertifikasi Guru dan Dosen telah menimbulkan perhatian kepada para Guru dan Dosen untuk melaksanakan tugasnya dengan baik. Melalui program Kuirkulum Berbasis Kompetensi (KBK) dan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) telah melahirkan suasana akademik dan dan proses belajar mengajar yang lebih kreatif, inovatif dan mandiri. Demikian juga dengan adanya Standar Nasional Pendidikan telah timbul kesadaran gagi kalangan para pengelola pendidikan untuk melakukan akreditasi terhadap program  studi yang dilaksanakan.
Kini bangsa indonesia hidup di era globalisasi dan reformasi yang keadaanya jauh berbeda dengan keadaan dimasa lampau. Berbagai perubahan yang terjadi di era globalisasi dan era reformasi tersebut telah mempengaruhi pada seluruh komponen pendidikan. Berbagai komponen pendidikan telah memiliki paradigma baru yang keadaanya berbeda dengan paradigma pendidikan di masa lalu. Dalam keadaan demikian, lembaga pendidikan mulai dari tingkat dasar hingga perguruan tinggi yang ingin tetap eksis dan memiliki konstribusi bagi penyiapan masa depan bangsa, mau tidak mau harus mengikuti perkembangan berbagai perubahan dan paradigma baru pendidikan tersebut.[10]
Menurut Tilaar reformasi berarti perubahan dengan melihat keperluan masa depan, menekankan kembali pada bentuk asal, berbuat lebih baik dengan menghentikan penyimpangan-penyimpangan dan praktik yang salah atau memperkenalkan prosedur yang lebih baik, suatu perombakan yang menyeluruh dari suatu sistem pendidikan kehidupan dalam aspek politik, ekonomik, hukum, sosial, dan tentu saja bisa diterapkan dalam bidang pendidikan.[11]
Di dalam program pembangunan nasional (Propenas) 1999-2004, juga di akui bahwa manajemen pendidikan nasional selama ini secara holistik sangat sentralistis sehingga menutup dinamika demokratisasi pendidikan. Di akui maupun tidak, manajemen pendidikan yang sentralistis akan menyebabkan dan melahirkan kebijakan seragam yang tidak mampu dan tidak dapat mewadahi segala perbedaan, keberbedaan, atau heterogenitas kepentingan setiap daerah, sekolah, dan peserta didik. Ini kemudian mematikan partisipasi masyarakat dalam proses pendidikan serta mendorong terjadinya pemborosan dan kebocoran alokasi anggaran pendidikan.[12]
Pendidikan adalah salah satu bidang yang diotonomkan dari sekian banyak bidang lainnya. Gelombang demokratisasi dalam pendidikan menuntut adanya desentralisasi pengelolaan pendidikan, beberapa dampak dari sentralisasi pendidikan telah muncul di Indonesia uniformitas. Uniformitas ini mematikan inisiatif dan kretivisme serta inovasi perorangan maupun masyarakat. Di tengah-tengah masyarakat yang majemuk seperti Indonesia sangat perlu pula dihargai adanya sisi perbedaan yang tidak mesti seragam, karena keberadaan masyarakat majemuk itu menuntut adanya berbagai perbedaan yang merangsang untuk tumbuhnya kreativitas dan inovasi.[13]

B.     Peluang Pendidikan Islam
Peluang Indonesia untuk dapat bangkit dan bersaing dengan Negara-negara di kawasan Asia Tenggara sebenarnya cukup besar. Hal tersebut terutama di sebabkan oleh kondisi dan kecenderungan global yang di sebabkan oleh majunya teknologi informatika membuat motifasi dan keinginan umum manusia untuk terus maju dan bergerak kedepan menjadi sesuatu yang besar. Di samping itu, kemajuan dan perkembangan dunia bisnis dan bidang-bidang usaha lain yang persaingannya begitu ketat menjadi pemicu sebagian orang untuk mendapatkan peluang.[14]
Di dalam pembabakan perkembangan pendidikan di Indonesia pasca reformasi, dapat dipandang sebagai perubahan yang menggambarkan bahwa Indonesia sedang memasuki era baru yang fundamental. Ditandai dengan seperangkat Undang-Undang, khususnya yang berkaitan tentang desentralisasi pendidikan. Sikap kritis dan ketidakpuasan masyarakat akademis terhadap berbagai dampak negatif sistem sentralisasi pendidikan yang diterapkan Orde Baru, mendorong perlunya perubahan paradigma dalam pengelolaan pendidikan, mulai dari tingkat dasar, menengah hingga perguruan tinggi.
Terdapat berbagai aspek mendasar terkait perubahan paradigma pendidikan dari orde baru menuju era reformasi. Paradigma lama atau pendidikan yang dicanangkan pada masa orde baru cenderung sentralistik dan top down. Sementara orientasi pengembangan pendidikannya bersifat parsial, karena didesain untuk sektor pertumbuhan ekonomi, stabilitas politik dan keamanan, serta teknologi perakitan. Sedangkan paradigma pendidikan pada era reformasi dijalankan secara desentralisasi, holistik dan bersifat bottom up. Artinya, pendidikan ditekankan pada pengembangan kesadaran untuk bersatu dalam kemajemukan budaya, kemajemukan berpikir, kemanusiaan, dan agama.
Salah satu upaya yang dilakukan dalam rangka menata pendidikan adalah dengan diterbitkannya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) Nomor 20 tahun 2003, sebagai pengganti Undang-Undang Sisdiknas Nomor 2 tahun 1989. Langkah tersebut penting dilakukan karena kebijakan yang lama sudah tidak sesuai dengan semangat desentralisasi. Hadirnya Undang-Undang otonomi daerah, maka pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pelaksanaan desentralisasi pendidikan, menurut Yoyon mencakup beberapa aspek substantif yang meliputi teknis edukatif, personel, finansial, sarana dan prasarana, administratif, dan aspek fungsi manajemen sepertiPlanning, Organizing, Actuating, dan Controlling (POAC).[15] Kedua aspek tersebut, menurut Yoyon, diarahkan pada paradigma pendidikan di Indonesia melalui Pelaksanaan Manajemen Berbasis Sekolah (Program School Based Management).
Desentralisasi pendidikan diterapkan untuk pemerataan dan peningkatan mutu pendidikan. Setidaknya didasarkan atas tiga poin positif atas kebijakan desentralisasi pendidikan, meliputi: Pertama, terwujudnya pemerataan kesempatan pendidikan dengan tercapainya program wajib belajar 9 tahun.Kedua, mendorong lahirnya generasi muda yang terampil dalam mengembangkan potensi lingkungan yang sesuai dengan kebutuhan setempat sebagai perwujudan dari pluralitas antardaerah. Dalam hal ini juga disesuaikan dengan kurikulum dan skill yang dimiliki oleh peserta didik di masing-masing wilayah.Ketiga, meningkatkan partisipasi masyarakat terhadap dunia pendidikan dan didorong dengan sistem penyelenggaraan pendidikan yang lebih efektif, efesien dan ramah lingkungan.[16] Karena, pendidikan merupakan tanggung jawab bersama guna mencapai tujuan dari pendidikan itu sendiri.
Pendidikan agama Islam sangat dibutuhkan bagi umat Islam, agar dapat memahami secara benar ajaran Islam sebagai agama yang sempurna, juga harus dipelajari secara integral agar berguna bagi kehidupan. Agar ajaran Islam dapat dipelajari secara efektif dan efisien, maka perlu dikembangkan kurikulum pendidikan agama Islam sesuai dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Misalnya fenomena globalisasi dewasa ini, ternyata mampu membuka batas-batas teritorial berbangsa dan dalam dimensi yang beragam terkait kehidupan umat manusia. Berangkat dari berbagai konstelasi dunia, mengharuskan adanya ketentuan legal-formal yang menuntut perubahan dan penyempurnaan dalam pendidikan Islam. Selain itu, perkembangan ilmu pengetahuan perlu dipertajam dengan kemajuan teknologi, informasi, dan komunikasi. Pembaharuan dalam hal ini menjadi penting agar tidak diklaim sebagai pendidikan yang ketinggalan zaman.[17]
Mengenai perkembangan pendidikan Islam, terlihat dengan terbitnya Undang-Undang Sisdiknas tahun 2003[18] dan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan pendidikan keagamaan. Dengan demikian, eksistensi pendidikan Islam semakin diakui dalam tatanan pendidikan nasional. Namun, meski mendapat kepercayaan yang lebih, namun kondisi lembaga pendidikan Islam di Indonesia sebagian besar masih bersifat tradisional. Kenyataan inilah yang harus menjadi perhatian dan menjadi refleksi secara kolektif, sehingga dapat mengurangi dampak yang nantinya akan terjadi.
Tindakan pemerintah melakukan reorientasi pendidikan cukup strategis bagi perbaikan mutu pendidikan dasar yang secara legal formal memiliki kekuatan hukum. Dalam hal ini, pemerintah melalui Undang-Undang Nomor 32 dan 33 tahun 2004 tentang otonomi daerah menuntut pembangunan pendidikan dioptimalkan di daerah. Undang-Undang tersebut merupakan pengganti dari Undang-Undang otonomi daerah sebelumnya. Sejalan dengan desentralisasi pendidikan, maka daerah diberi kesempatan membuat grand design yang secara kontekstual sesuai dengan kondisi wilayahnya. Itulah yang membedakan antara pendidikan yang dijalankan orde baru dengan reformasi.
Peluang pendidikan Islam dimulai dengan terbitnya pp No 55 Tahun 2007 dan UU otonomi daerah.

C.    Tantangan Pendidikan Islam Pasca Reformasi
Tantangan internal pendidikan Islam adaah:
1.      Implementasi dari pp No 55 tahun 2007 di lapangan hanya sebatas peraturan tertulis.
2.      Pendidikan tersentral kepada Departemen Agama
3.       Pasca reformasi bermunculan lembaga bercri khas islam seperti SDIT, SMPIT, SMAIT.
4.      Kurikulum pendidikan Islam masih bersifat dikotomik antar umum dan agama.
Tantangan eksternal pendidikan islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan islam sebagaimana yang terdapat pada zaman dahulu. Tantangan pendidikan islam di zaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulence) atau stunami. Menurut Daniel bell di era globalisasi saat ini keadaan dunia ditandai oleh kecenderungan- kecenderungan sebagai berikut.
Pertama, kecenderungan integrasi ekonomi yang menyebabkan terjadinya persaingan bebas dalam dunia pendidikan. Karena menurut mereka dunia pendidikan juga termasuk yang diperdagangkan, maka dunia pendidikan saat ini juga dihadapkan pada logika bisnis. Penyelenggaraan pendidikan tidak hanya ditujukan untuk mencerdaskan bangsa, memberdayakan manusia atau mencetak manusia yang soleh melainkan untuk menghasilkan manusia-manusia yang economic minded, dan penyelenggarannya untuk mendapatkan keuntungan material.
Kedua, kecenderungan fragmentasi politik yang menyebabkan terjadinya peningkatan dan harapan dari masyarakat.Mereka semakin membutuhkan perlakuan yang adil dan demokratis, egaliter, transparan, akuntabel, cepat tepat dan propesional.
Ketiga, kecenderungan penggunaan teknologi canggih khususnya teknologi komunikasi dan informasi (TKI) seperti komputer. Teknologi canggih ini telah masuk dalam dunia pendidikan seperti dalam pelayanan administrasi pendidikan, keuangan, proses belajar mengajar. Melalaui TKI ini para peserta didik atau mahasiswa dapat mengikuti kegiatan belajar dari jarak jauh. Sementara itu peran dan fungsi pendidik juga  bergeser  menjadi  semacam  fasilitator, katalisator,  motivator dan  dinamisator.
Keempat, kecenderungan munculnya penjajahan baru dalam bidang kebudayaan yang mengakibatkan terjadinya pola pikir masyarakat pengguna pendidikan yaitu dari yang semula mereka belajar dalam rangka meningkatlan kemampuan intlektual, moral, fisik dan psikis berubah menjadi belajar untuk mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang besar.[19]
Dalam konteks kebudayaan yang lain berapa dekade terakhir kita menyaksikan munculnya budaya etnik sejalan dengan tumbuhnya Negara bangsa. Menurut Tilaar pada abad ke 20 proses budaya ini menuju kepada suatu budaya nasional yang semaki terintegrasi. Pada abad ke 21 lahirlah suatu budaya dunia yang baru, suatu budaya yang mengidealisasikan budaya global didalam bentuk bergabagi budaya dominan seperti yang didorong oleh gaya hidup global dan ditunjang oleh hubungan komunikasi yang semakin cepat dimana setiap orang bisa berkomunikasi dengan siapa saja kapan saja dimana saja.[20]
Kelima, Akan terjadi perubahan dari masyarakat agraris ke masyarakat industri. Tofler mengatakan bahwa perubahan tersebut akan menimbulan goncangan. Nurcholis Majid mengatakan bahwa perubahan tersebut akan menyebabkan defrivasi relatif, dislokasi, disorientasi, dan negativisme.
Deprivasi relatif yaitu perasaan teringkari, atau tertinggal dari orang lain dan kalangan tertentu dalam masyarakat akibat tidak dapat mengikuti perubahan dan kesulitan menyesuaikan diri dengan perubahan itu.  Dislokasi maksudnya perasaan tidak punya tempat dalam tatanan sosial yang sedang berkembang. Disorientasi ialah perasaan tidak mempunyai pegangan hidup akibat dari apa yang ada selama ini tidak dapat lagi dipertahankan karena teras tidak cocok dan kehilangan identitas. Sedangkan yang dimaksud dengan negativisme adalah perasaan yang mendorong ke arah pandangan yang serba negatif  kepada  susunan  yang  mapan, dengan sikap-sikap tidak percaya, curiga, bermusuhan, dan sebagainya.[21]
Juga perubahan sistem nilai. Globalisasi akan membawa dampak pada pergeseran nilai. Pergeseran nilai yang dimaksud hususnya adalah nilai-nilai keagamaan tidak terkecuali nilai-nilai agama islam. Perubahan sistem nilai yang demikian tentunya menuntut peran agama yang lebih dominan dalam kehidupan manusia. Dalam konteks modernsasi, peran agama seringkali disepakati sebagai alat penyeimbang bagi pola kehidupan materialistis. Karenanya tuntuttan penjabaran agama berkenaan dengan kondisi kehidupan dunia hendaknya lebih kontekstual dan relevan. Tampaknya globalisasi sebagai produk modernisasi telah menjadikan sebagian manusia kehilangan, atau  setidaknya menggoyahkan keimanan.[22]
Pendidikan islam mau tidak mau masuk dalam perangkat arus global dan mengalami turbulensi ini. Dalam analisisnya fenomena turbulensi diatas dikaitkan dengan pesatnya arus global akibat modernisasi industrialisasi media masa, sarana komunikasi, dan telekomunikasi yang canggih, sedemikian rupa sehingga menjadi dunia ini seakan dilipat dalam bentuk mini. Global berarti mendunia. Jadi turbulensiarus global dimaksdukan sebagai pergolakan yang ditimbulkan akibat moderniasi disegala bidang yang telah mendunia. Pengaruh arus global ini amat luas dan tidak terelakkan pula imbasnya mengenai pendidikan islam.
Bagi pendidikan islam turbulensi arus global bisa menimbulakan gejala kontramoralitas, yakni pertentangan dua sisi moral secara diametral. Karena globalisasi langsung atau tidak, dapat membawa paradox bagi praktik pendidikan islam, seperti terjadinya kontra moralitas antara apa yang  diidealkan dalam pendidikan islam dengan realitas di lapangan, maka gerakan tajdid dalam pendidikan islam hendaknya melihat kenyataan dalam kehidupan masyarakat lebih dulu, sedemikian hingga ajaran islam yang hendak dididikkan itu dapat landing dan kontekstual.[23]



BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Pendidikan islam menurut istilah adalah kesepakatan yang dibuat para ahli dalam bidangnya masing-masing terhadap pengertian pendidikan islam. Dengan demikian, dalam istilah tersebut terdapat misi, visi, tujuan yang di inginkan oleh yang merumuskannya sesuai dengan latar belakang pendidikan, keahlian, kecenderungan, kepentingan dan lain sebagainya.
Tantangan pendidikan islam saat ini jauh berbeda dengan tantangan pendidikan islam sebagaimana yang terdapat pada zaman dahulu. Tantangan pendidikan islam dizaman sekarang selain menghadapi pertarungan ideologi-ideologi besar dunia juga menghadapi berbagai kecenderungan yang tak ubahnya seperti badai besar (turbulence) atau sunami. Kecenderungan – kecenderungan terrsebut antara lain integrasi ekonomi, fragmentasi politik, tekhnologi dan kebudayaan. Namun selain menghadapi berbagai tantangan yang ada, pendidikan islam pasca reformasi ini juga memiliki peluang. Peluang tersebut adalah semakin dituntunnya pendidikan untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumber daya manusia, yaitu manusia yang mempunyai wawasan, kemampuan dan keterampilan serta kepribadian  yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat.


 DAFTAR PUSTAKA

Arif, Armai, 2002,  Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam, Jakarta : Ciputat Pers.

Assegaf, Rachman, 2011,  Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif, Jakarta : Rajawali Pers.

Astuti, Siti, Irene, Dwiningrum, 2011.  Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan: Suatu Kajian Teoretis dan Empirik, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Azra, A. 2002. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Bakar, U.A. dan Surohim. 2005. Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam: Respon Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS. Yogyakarta: Safiria Insani Pres.
Bahtiar, Yoyon,  Irianto, 2011. Kebijakan Pembaharuan Pendidikan: Konsep, Teori, dan Model, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,
Barizi, A. (ed). 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press.
Daud, Muhamad,  Ali dan Habiba Daud. 1995,  Lembaga-lembaga Islam di Indonesia. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.
Haidar, Putra, 2004,  pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia, Jakarta, Kencana.

Idi, Abdullah dan Toto Suharto, 2006. Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta :Tiara Wacana.

M.Chan,  Sam dan Tuti T. Sam, 2011. Kebijakan Pendidikan  Era Otonomi Daerah, Jakarta :  Raja Grafindo Persada.

Nata, Abuddin, 2009 Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta : Kencana Prenada media.

Nata, Abuddin,  Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan islam, Jakarta : Raja Grafindo   Persada

Rahardjo, 2010, Mudjia Pemikiran Kebijakan pendidikan Kontemporer, Malang : UIN Maliki Press.

Rifa’i, Muhammad, 2011,  Sejarah Pendiidkan Nasional: dari masa klasik hingga modern, Jakarta, Ar-Ruzz Media.

Tafsir, Ahmad, 2012, Filsafat Pendidikan Islami  Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung :Remaja Rosdakarya.

Umiarso dan Haris Fathoni Makmur, , 2010. Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, Yogyakarta: Ircisod.

Zainnuddin,  2008, Reformasi Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar.

















[1] Bakar, U.A. dan Surohim. (2005). Fungsi Ganda Lembaga Pendidikan Islam, Respon Kreatif terhadap Undang-Undang SISDIKNAS (Yogyakarta: Safiria Insani Pres, 2005), h. 110.


[2] Azyumardi Azra. Pendidikan Islam: Tradisi dan Modernisasi Menuju Millenium Baru. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu. 2002), h. 85
[3] Barizi. Holistika Pemikiran Pendidikan A. Malik Fadjar. (Jakarta: Rajawali-UIN Malang Press. 2005), h. 77.



[4] Armai Arif, Pengantar Ilmu dan Metodologi Pendidikan Islam (Jakarta : Ciputat Pers, 2002), h. 16.
[5] Muhamad Daud Ali dan Habiba Daud. Lembaga-lembaga Islam di Indonesia(Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 1995), h. 137

[6] Perubahan Undang-Undang Nomor 2 tahun 1989 menjadi Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional yang terdapat kekurangan atau kelemahan pada UU No 2  Tahun 1989, yaitu: (1) Sistem Pendidikan Nasional yang bersifat sentralistik; (2)belum menghasilkan lulusan pendidikan yang bermutu dan bersaing dengan negara lain; (3)belum mengemban misi pendidikan untuk semua; (4) belum dapat mendukung lahirnya peserta didik yang berakhlak mulia; (5)belum memperhatikan keadaan masyarakat Indonesia yang heterogen dan multikulttural; (6)belum dilaksakan secara profesional.

[7] Pada kurikulum tahun 1995 menekankan pada punguasaan materi pelajaran sebanyak-banyaknya tanpa disertai dengan keterampilan proses memahami dan mempraktekkan materi pelajaran tersebut. Kurikulum yang demikian menyebabkan lahirnya para lulusan yang tidak memiliki kompetensi yang diperlukan untuk membangun manusia yang aktif dan kreatif.
[8] Agar pendekatan dapat diwujudkan, maka perlu adanya perubahan metode belajar mengajar pada pendekatan kita, yaitu: (1) mengubah cara belajar dari model warisan menjadi memecahkan masalah; (2)dari hafalan ke dialog; (3) dari pasif ke heuristic; (4) dari strategi menguasai materi sebanyak-banyaknya menjadi menguasai metodologi yang kuat.

[9] Lihat Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, (2005, Jakarta: Departemen Pendidikan Nasional).

[10] AbuddiNata,Perspektif Islam Tentang Strategi Pembelajaran, Jakarta : Kencana Prenada media, 2009hal. 15.
[11] Zainnuddin, Reformasi Pendidikan, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2008, hal. 31.
[12] Muhammad Rifa’i, Sejarah Pendiidkan Nasional: dari masa klasik hingga modern,( Jakarta, Ar-Ruzz Media, 2011), hal. 263.
[13] Putra haidar,  pendidikan Islam dalam sistem pendidikan nasional di Indonesia,( Jakarta, Kencana, 2004), hal 64
[14] Sam M.Chan dan Tuti T. Sam, Kebijakan Pendidikan  Era Otonomi Daerah, Jakarta :  Raja Grafindo Persada, 2011, hal. 146.

[15] Yoyon Bahtiar Irianto, Kebijakan Pembaharuan Pendidikan: Konsep, Teori, dan Model, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2011), hlm. 158-160.

[16] Siti Irene Astuti Dwiningrum, Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat dalam Pendidikan: Suatu Kajian Teoretis dan Empirik, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2011), hlm. 8-10.
[17] Umiarso dan Haris Fathoni Makmur, Pendidikan Islam dan Krisis Moralisme Masyarakat Modern: Membangun Pendidikan Islam Monokhotomik-Holistik, (Yogyakarta: Ircisod, 2010), hlm. 177.
[18] Dalam Pasal 30 ayat (3), dijelaskan bahwa “pendidikan keagamaan dapat diselenggarakan pada jalur pendidikan formal, nonformal, dan informal”. Selanjutnya, pada pasal 37, secara berturut-turut dinyatakan bahwa “kurikulum pendidikan dasar, menengah, dan tinggi wajib memuat pendidikan agama, pendidikan kewarganegaraan, bahasa”. Sementara untuk pendidikan dasar dan menengah masih ditambah dengan materi lainnya.

[19] Abuddin Nata, Kapita Selekta Pendidikan Islam Isu-isu Kontemporer tentang Pendidikan islam, Jakarta : Raja Grafindo   Persada hal. 13 – 15.
[20] Mudjia Rahardjo, Pemikiran Kebijakan pendidikan Kontemporer, Malang : UIN Maliki Press, 2010, hal. 37 – 38.
[21] Ahmad tafsir, Filsafat Pendidikan Islami  Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia, Bandung :Remaja Rosdakarya, 2012, hal. 192 – 193.
[22] Abdullah Idi dan Toto Suharto, Revitalisasi Pendidikan Islam, Yogyakarta :Tiara Wacana, 2006. hal. 107.
[23] Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam Paradigma Baru Pendidikan Hadhari Berbasis Integratif Interkonektif, Jakarta : Rajawali Pers, 2011, hal. 327 – 328.




Tidak ada komentar:

Posting Komentar